Senin, 13 Juli 2015

Part 2. Ramadhan Fun Hiking (Papandayan, Garut West Java)

Part. 2


Day 3 (05:00)

Sepanjang malam saya tidak terlalu nyenyak tidur, walaupun tendanya mas bibit's cukup nyaman dan hangat, memang tendanya mas bibit bagus ceunah, tenda beli di Belanda saat mas bibit study S2 disana, walaupun demikian saya tetap tidak nyenyak untuk memejamkan mata. 
Saya selalu melihat jam tangan, masih menunjukan pukul 00:00 tengah malam, hingga saya mulai terlelap yang sesungguhnya mungkin sekitar pukul 00:30, itu saya mulai merasakan tidur yang sesungguhnya. Hingga pukul 03:00 saya terbangun kembali, saya berfikir masih jam tiga pagi terlalu dini untuk membangunkan mereka sahur, maka dari itu saya lanjutkan tidur kembali, tak terasa tidurku kebablasan hingga pukul 05:00 pagi, saat saya bangun dan melihat jam, kaget bukan kepalang, saya bangunkan mas bibit, “mas bangun sahur, sahur satu jam yang lalu” sambil mengoyang-goyangkan tanganya. Tadinya saya mengira ini masih jam empat pagi, padahal sudah jam lima, mas bibit bangun dan melihat jam, sambil bertanya “ini jamku yang rusak, apa kita yang kesiangan ya wan” tanyanya, “jam kamu sing rusak koyone mas” sahutku sambil membuka tenda, setelah saya membuka tenda lebih kaget lagi, karena di saat itu cukup gelap, saya melihat sesuatu lumayan besar di depan tenda kami, dengan sedikit bergoyang-goyang, saya panik dan mencoba mengusir, “hus, hus.....” teriakku, saya langsung teringat jika di pondok saladah ini masih terdapat babi hutan. Dengan cepat saya panggil mas bibit, tetapi mas bibit sepertinya masih setengah bangun, karena itu dia tidak konsen pada panggilan saya. Tak lama saya memanggil mas bibit, di dalam tenda cewek-cewek ada yang berteriak “ines, ines” panggilnya, sepertinya itu suara teh syifa yang sedang mencari kak ines, saya menjadi penasaran dan memberanikan diri untuk membuka tenda lalu melihat kembali sesuatu yang berada di luar tenda tadi, setelah saya dengar dan perhatikan seksama, sesuatu yang bergoyang-goyang tersebut merintih kedingginan, kalo masalah makhluk halus saya tidak terfikir sampai di situ, dan jika itu benar seekor babi hutan, masa seekor Pig kedingginan?, yang saya takuti jika sesuatu tersebut benar-benar babi liar, secara otomatis makanan yang di luar tenda akan habis di obrak-abrik binatang tersebut. 
Panggilan suara teh syifa terdengar kembali “nes, ines kamu dimana” panggilnya. Saya merasa takut dan binggung, takut yang di depan tenda seekor babi sungguhan dan binggung kak ines hilang kemana. masa kak ines hilang, kemanakah kak ines menghilang? Dan sosok apakah yang ada di depan tenda tersebut? Ini masih menjadi pertanyaan misterius di kala ketakutan dan kebinggungan sedang melanda. 
Dan akhirnya misteri tersebut terpecahkan, sesuatu di depan tenda kami tersebut serta hilangnya kak ines adalah jeng-jeng.............. setelah panggilan kedua dari teh syifa, kak ines membalas “iya-iya” sambil menahan rasa dingin yang menerpanya, eh ternyata yang bergoyang-goyang di depan tenda adalah kak ines, yang merasa kesempitan saat di dalam tenda, oleh sebab itu makanya dia tidur di luar. 
Dengan sedikit menahan tawa, Ya Allah kak ines, saya fikir tadi apa dalam hati saya. Saya tidak ngomong secara langsung karena takut menyinggung perasaanya. Masa kak ines di samakan dengan itu. Astagfirullah, maafkan saya ya kak, maaf. Tapi akhirnya saya cerita juga pada kak ines, dan dia malah ikut tertawa he he he.

Setelah fix kami kesiangan dan tidak ada yang sahur sama sekali, lalu kami melaksanakan shalat subuh berjamaah. Pagi itu udara sangat dingin, udara khas musim panas di bawah garis khatulistiwa, saya menengok jam tanganku, untuk memperkirakan temperatur udara di pagi itu,  thermometerku menunjukan suhu pagi ini lebih dingin daripada tadi malam, sekitar kurang lebih sepuluh derajat celcius, memang tidak akurat sangat jam tanganku ini, tetapi setidaknya ada yang dapat digunakan untuk patokan, daripada tidak ada sama sekali. Setelah ba’da shalat, teman-teman bergegas menuju sebuah tebing yang tidak jauh dari tempat camp kami, tepatnya jalan setapak dari arah pertigaan lawang angin menuju pondok saladah ini, jalur yang dimana kami lalui sebelum masuk pondok saladah.


Ini dia yang kami tunggu, sebuah sunrise yang indah nan menenangkan adalah sebuah obat lelah yang tak akan tergantikan oleh apapun, obat kecewa yang tak tertandingi oleh segalanya. (Masih enak di rumah aja? Makanya jalan-jalan broo sis, indonesia ini indah sob, sayang kalo ngak kamu singgahi satu per satu.) kami sangat takjub akan apa yang Allah ciptakan dan berikan kepada kami semua, dalam benakku berkata “Alam ini terlalu indah untuk kita rusak”. Oleh karena itu mulailah dari diri sendiri untuk menjaganya, bukankah manusia di takdirkan oleh Allah sebagai khalifah di bumi ini, seharusnya menjaga bukan merusak, Allah sudah menakdirkan kita untuk menjadi khalifah, maka dari itu kita harus menjaga amanah itu, benar tidak? Kok malah jadi khatib gini ya he he he, ini hanya mengajak/menginggatkan kembali saja, mudah-mudahan kita selalu menjadi hamba yang ingat dan menerapkan/menjalani perintah-NYA. 
Oke lanjut, setelah itu kami berfoto-foto sejenak, saya melihat mereka foto aja udah seneng apalagi kalo di ajak foto. ngak pede-an orangnya ngehehe. Setelah kurang lebih setengah jam kami menikmati sunrise di bibir tebing tersebut, kami bergegas menuju tenda kembali untuk bersiap-siap melakukan perjalanan menuju tegal alun.







Selfie sukaesi dulu.




Kami berangkat meninggalkan pondok saladah pukul 07:00 pagi, melewati sebuah sungai kecil yang mengalir sangat jernih, lalu mulai menanjak curam ke atas sebuah bukit tepat di depan pondok saladah tersebut, entah bagaimana kita dapat bertemu jalan ini, kami hanya terpaku oleh jalanan setapak menuju sebuah puncak bukit, yang di balik bukit tersebut kami yakini lokasi tegal alun tersebut. 
Kami mendaki dan mendaki, semakin tinggi semakin sulit medan yang kami lalui, bahkan angel karamoy/dudu sempat terpeleset hampir jatuh ke jurang karena sedikit kurang konsentrasi. 
Dengan semangat " ﻣَﻦْ ﺟَﺪَّ ï»­َﺟَﺪَ" kami terus bergerak, dan dengan rasa “ﻣَﻦْ ﺻَﺒَﺮَ ﻇَï»”ِﺮَ” kami lewati rintangan ini sampai puncak bukit. 
Akhirnya kami sampai di jalan setapak yang landai di atas puncak bukit, kami bertemu dengan tiga rombongan team, satu team dengan jalur yang sama dengan kami, satu team dengan jalur yang berbeda, dan satu teamnya lagi kalo gak salah pecahan team dari team yang bareng dengan kami tadi, tetapi tidak tahu mereka dari jalur mana. Kami bertemu di atas bukit dan satu tujuan untuk menuju lokasi tegal alun. Setelah berjalan bersama sejauh dua sampai tiga Km. Kami menemukan persimpangan jalan, karena belum ada yang pernah kesini dari sekian orang yang ada di situ, terpaksa bagi tugas untuk explore jelajah mencari jalur, sebagian dari beberapa team mereka mengambil jalur kanan sedikit menurun, sedangkan mas bibit dan beberapa orang lainya mengambil jalur kiri dengan jalan sedikit menyempit dan mulai tak terlihat jalan setapaknya. Setelah beberapa menit kami berteriak menanyakan jalan mana yang benar, ternyata jalan yang sesungguhnya berada di jalur ke kanan yang sedikit menurun. Kami semua lalu melanjutkan perjalanan menuju jalur yang benar, berjalan berbondong-bondong menuju tegal alun tersebut. 
Setelah berjalan kurang lebih lima belas menit, sampailah kami di tegal alun *sebuah lokasi di balik bukit, dengan pemandangan padang bunga Edelweis dimana-mana, serta lapangan rumput hijau yang cukup subur tumbuh di sekitarnya. Kami langsung berlari bagaikan anak kecil melihat sebuah mainan yang sangat di sukainya, terbayar sudah kelelahan pendakian yang cukup menguras tenaga menakhlukan bukit di belakang kami. 




Kak ines dengan edelweis junior.




Fighting.

Dengan raut wajah yang riang para wanita dari team kami berfoto ria di padang Edelweis tersebut, saya dan mas bibit duduk santai sambil menikmati cerahnya hari itu. Lalu di tambah teh syifa dan erna yang ikut duduk, bersama kami, mas bibit yang iseng memutar sebuah lagu malaysia yang berjudul “Isabella” membuat kami heboh kembali, cuman gara-gara lagu isabella, kami menjadi mengartikan lagu tersebut dengan versi masing-masing yang bertentangan, inilah team kami selalu ceria, heboh, ramai dan saling menghibur. Team hore kata si novi he he he. Sekilas jadi teringat team hore-horenya mas agus, yang berada di solo “Ambemwati” nama teamnya, terdiri dari mas agus, mas sofyan, mas samto dkk. Saya mendaftar menjadi ambemwati juniornya ceritane he he he, dimana-mana pasti saya selalu menjadi junior. (anak bawang aja deh) kekekek, karena memang team yang saya ikuti semuanya team senior ho ho ho. 
Setelah cukup puas berdebat masalah lagu isabella dan berfoto ria dengan bunga abadi, kami beranjak dari nyamanya duduk kami dan memulai perjalanan untuk menuju lokasi selanjutnya, yaitu adalah “Mati Hutan” saya menyebutnya demikian, dari tegal alun kami mengikuti jalur angin melipir ke sebelah kiri menuju timur laut, arah jam sebelas dari hadapan kami. Kami terus berjalan dan berjalan hingga bertemu sebuah jalur air, atau sungai kecil yang kering, di jalur itu jalan pecah menjadi dua, padahal lokasi tersebut tempat yang terbuka dan tidak terlalu menyulitkan kami untuk memilih jalan. Tetapi, Hidup adalah sebuah pilihan. Kita sendiri yang akan menentukanya....... go a head

(“Lost after Tegal Alun” (11:00)

Siang yang sangat terik, serta suhu udara mulai meningkat, kami masih menyusuri jalan turun memasuki kawasan hutan, berjalan sekitar lima belas menit dari persimpangan sungai kering tadi. Mas bibit berjalan paling depan memimpin kami, di ikuti oleh novi, dudu dan kak ines, sedangkan di belakang ada saya, teh syifa dan erna. Pijak demi pijak kami menginjak jalur yang mulai menyempit, langkah demi langkah kami melompat dengan pasti, hingga kami menemukan sebuah aliran sungai yang di aliri oleh air yang bersih, jernih dan menenangkan. Kami singgah sejenak untuk sekedar mencuci kaki dan bermain air sejenak. 

Setelah beberapa menit kami beristirahat, kami kembali melanjutkan perjalanan, kali ini jalan mulai sedikit menanjak dan mulai tercium bau belerang, karena angin dari kawah sedang menuju ke arah kami. Tak lama kemudian kami melihat tugu, entah tugu apa namanya saya tidak terlalu memperhatikan, lokasi tugu tersebut di padang rumput liar yang cukup tinggi, di samping tebing yang curam. Kami terus melanjutkan perjalanan, dari hadapan muka kami sudah terlihat pohon-pohon yang kering kerontang tak berdaun, dan dahan-dahan tersebut berwarna hitam gosong serta rapuh. “Hutan Mati” pikir kami, dengan langkah mulai cepat kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju pohon-pohon rapuh tersebut, setelah sampai di jalanan yang menurun sangat terjal, terlihatlah pohon-pohon mati tersebut. Entah apa yang teman-teman saya pikirkan saat melihat pemandangan yang aneh ini, mungkin mereka berpikir, kok beda dengan gambar yang di internet ataupun media sosial seperti yang pernah mereka lihat, jika sekilas saya perhatikan memang beda dengan apa yang pernah saya lihat di foto teman saya yang kala itu pernah pergi ke papandayan. Tapi ya sudahlah pikir saya, toh teman-teman yang di sekitarku saat ini juga biasa saja menanggapinya, makanya saya juga berusaha untuk yakin jika ini memang benar hutan mati yang biasa di singgahi oleh para pendaki umumnya. 
Break.



Teh syifa dan "mati hutan"

Dengan semangat, kami mulai melanjutkan kembali perjalanan setelah beristirahat sejenak untuk mengamati keadaan sekitar, dengan jalan perlahan kami mulai menurun, depan kami di suguhkan jalan setapak dengan track pasir yang licin, serta minim akar, kayu atau batu untuk peganggan kami agar selalu dapat menyeimbangkan badan. Dengan penuh hati-hati kami turun dari satu turunan yang cukup licin, ke turunan yang licin lainya, tak jarang kami terpeleset dan hilang keseimbangan. Saya sempat khawatir dengan team saya ini, karena tadi pagi tidak ada yang melaksanakan ibadah sahur karena kesiangan, dan sekarang harus menakhlukan track yang licin, panas, serta bau belerang yang memusingkan kepala, apalagi dari kejauhan sudah terlihat track kami selanjutnya adalah track batu yang kering kerontang dan siap melukai kaki, karena batu tersebut lumayan tajam-tajam, dan team kami mayoritas perempuan pula. 


tak hanya panas oleh terik matahari, tetapi kami juga tersiksa oleh track batu tersebut.

Dengan sabar, niat, serta tekad yang kuat kami terus melanjutkan perjalanan selanjutnya, yaitu padang batu yang panas dan luas itu, inilah kesabaran dan tenaga kami benar-benar di uji, mas bibit, kak ines, novi dan dudu sudah terlampau jauh meninggalkan kami bertiga, teh syifa dengan sabarnya memandu erna yang sedikit takut jika bertemu dengan jalan yang menurun, padahal yang phobia ketinggian adalah novi, tapi kenapa malah erna yang cukup takut jika beretemu jalan yang menurun? Itu masih menjadi misteri Ilahi yang belum dapat terpecahkan sampai saat ini he he he, tapi jujur saya melihat erna jika di pinggir tebing lebih berani daripada bertemu jalanan menurun, inilah kelebihan dari cewek yang satu ini. Go erna semangat. 
Dengan sedikit demi sedikit melangkah saya bertiga mencoba mulai mempercepat gerakan langkah, tak begitu lama menurun, semakin terjal saja batu yang kami pijaki, dan tanpa sengaja  erna menginjak batu yang tajam, sehingga membuat lecet di area ibu jari kakinya. “Aduh” jeritnya, sembari melihat ibu jari kakinya, “kenapa na?” tanya teh syifa, sambil mulai mendekat dan memeriksa kaki erna, “ini teh, keserempet batu” sahutnya, lalu teh syifa memanggilku dan meminta tolong untuk mengambilkan P3K di dalam daypack yang sedang saya kenakan. “wan, ada alkohol ngak?” tanya teh syifa, “waduh ngak ada teh, ini adanya obat merah sama perekat luka” jawabku (disini saya menggunakan nama perekat luka, karena sesungguhnya saat kami berbicara menyebutkan merek) “owh, yaudah perekat lukanya” seru teh syifa sambil menerima kantong P3K dariku. Teh syifa dengan telitinya menempelkan perekat luka ke ibu jari kaki erna, “ini buat sementara aja ya, nanti setelah di tempat camp atau di basecamp di lepas” peringat teh syifa kepada erna “iya teh” sahut erna sambil mengelus ibu jari kakinya.



Hot and torture



Setelah saya berkemas kembali, kami bertiga mulai melanjutkan perjalanan, kali ini langkah kami buat sedikit lebih santai, untuk mengimbangi langkah kaki erna yang habis terkena batu. Setelah beberapa menit kami melangkah kami menemukan sungai yang airnya berwarna merah karena banyak lumut yang menempel di batu sungai tersebut, kami menyeberanginya dengan cukup berhati-hati. lalu berjalan sedikit mendaki dan menurun kembali, tak lama lagi bertemu sebuah sungai kecil yang mengeluarkan asap dan hawa panas, air tersebut mengalir ke kawah papandayan, kami menyeberanginya dengan sangat hati-hati karena airnya lumayan panas jika tersentuh langsung dengan kulit. Saya melihat ke atas bukit untuk mencari mas bibit yang ternyata sudah lenyap tak terlihat, dimana-mana saya hanya melihat fatamorgana, tak terlihat satu orang pun manusia kecuali kami bertiga di gurun batu tersebut. Dan tak lama setelah kami mulai berjalan mendaki untuk menggapai bukit tersebut mas bibit muncul dari atas bukit, memberi peringatan jika posisi mereka sudah di atas dan beristirahat, lalu kami bertiga bergegas naik menuju mereka. sampailah kami kembali ke buneran *titik awal pendakian seperti semula. Di buneran mas bibit, novi, dudu dan kak ines sudah beristirahat di bawah pohon, kami bertiga menyusul dan duduk bergabung dengan mereka.

(“Menguak misteri dari kesalahan kami” (14:00)

memecahkan misteri. (Afwan teh, teteh ke sensor)


Setelah duduk beristirahat sejenak, saya dan mas bibit berbincang-bincang masalah jalan yang baru saja kami lalui, kami masih binggung dengan jalur yang sesungguhnya sebenarnya berada dimana, karena hutan mati yang baru saja kami kunjungi tadi sebenarnya bukanlah hutan mati sesunggunhnya, entahlah itu namanya apa.  Bahkan cewek-cewek yang lainya ikut angkat bicara, merasakan hutan tersebut bukanlah hutan mati seperti biasanya. Kami semua hanya saling menatap dan binggung dengan apa yang telah kami jalani, sampai pindah topik pembicaraan kami belum menemukan jawaban dari perbedaan jalur yang kami lalui tadi, karena hari sudah mulai sore kami bergegas melanjutkan perjalanan kembali menuju tempat camp kami di pondok saladah, rencana kami ada dua opsi/pilihan, jika ke sorean, kita berencana kembali ngecamp satu malam di pondok saladah. atau tetap turun walaupun malam hari, dan nanti menginap satu malam di basecamp/camp david. Itu semua tergantung kondisi kami, faktor lelah dan cukup jauhnya jarak tempuh akan menjadi tantangan selanjutnya. Alhamdulillah berkat niat yang kuat serta izin Allah SWT. Di antara kami belum ada yang membatalkan puasa seorang pun, kami tetap mensyukuri nikmat iman yang di berikan Allah pada kami saat itu, walaupun pagi tidak sahur tetapi kami semua masih kuat untuk terus bergerak dan berjalan. 

Dengan sisa tenaga dan lelah yang terus menghantui kami, kami terus bergerak agar tidak kesorean, hingga sampai kurang lebih dua km lagi dari lawang angin, kami berpisah-pisah. Dudu dan kak ines terus memacu kekuatanya berjalan lebih dulu dari kami, sedangkan novi, erna dan teh syifa berjalan tepat di depan saya dan mas bibit. Saya dan mas bibit berhenti sejenak, sedangkan novi, erna dan teh syifa terus berjalan melanjutkan perjalanan. Saya dan mas bibit masih sama membicarakan topik tentang jalur yang kami lalui, karena itu sangat membuat saya dan mas bibit penasaran tingkat dewa. Saya dan mas bibit duduk bersandar batu dan terus mengawasi tebing dan jalur longsor yang berada tepat di depan kami berdua, dengan terus mengkira-kira. Setelah sekitar lima belas menit saya dan mas bibit dudu bersandar, mulailah kami beranjak dari tempat duduk yang nyaman tadi, dan melanjutkan perjalanan dengan hati yang masih bertanya-tanya. Kami berdua berjalan cukup cepat untuk mengejar teh syifa dkk. Kami berpikir, jika mereka mungkin masih menunggu kami berdua di lawang angin, setelah sampai lawang angin kami tidak bertemu mereka, mungkin kami telah tertinggal sangat jauh dengan mereka. Di lawang angin kami berdua duduk sebentar dan memperhatikan suasana di sekitarnya, disana hanya ada dua orang bapak yang sedang mencari rumput dengan motor trailnya yang di parkirkan di pinggir tebing. Setelah sejenak kami duduk kami langsung melangkah kembali menuju pondok saladah, hari semakin sore, yang kami takutkan jika kami turun terlalu malam akan bahaya saat di kawah papandayanya, karena di sana akan banyak asap dan dapat menyesatkan arah kami untuk menuju basecamp/camp david.

Mas bibit berjalan lebih dahulu dari saya, setiap berpapasan dengan para pendaki yang turun gunung saya selalu berhenti mengalah menepi dari jalur, karena jalur menuju pondok saladah cukup cekung dengan jalur airnya yang lumayan sempit. Saya berpikir mas bibit telah sampai di pondok saladah karena sedari tadi saya melihat ke depan sudah tak ada tanda-tanda seseorang yang berjalan disana, saya mulai mempercepat langkah, hingga sebelum sampai pondok saladah saya bertemu mas bibit berdiri di samping tebing, tempat dimana saya dan teman-teman semua tadi pagi menyambut sunrise di tempat tersebut. Saya melihat mas bibit sedang fokus memperhatikan jalur dari bukit berwarna putih di seberang jurang tersebut, lalu setelah melihat saya dia bertanya “bukanya itu hutan mati ya?” tanganya menunjuk ke sebuah bukit berwarna putih. Saya yang langsung ikut memperhatikan dengan seksama ikut terkaget “o, iyo mas, kae ngenah hutan mati” hutan mati sesungguhnya jawabku, “waduh bener salah iki, kae sing ngenah ning kono” yang benar disana hutan matinya timpa mas bibit sambil menunjukan peta jalur pendakian papandayan kepadaku. Saya berdua saling tertawa cengengesan setelah mengetahui hutan mati sesungguhnya adalah disana, pantesan beda sama biasa yang di tv-tv hutan matinya batinku. Sebenarnya kami itu tidak salah jalan, melainkan melewati jalur explorer atau jalur melebar menyisiri samping tebing puncak dan berjalan melalui jalur kawah lalu kembali lagi ke buneran, saya dan mas bibit cukup lama di tebing tersebut, menyocokan gambar peta dengan jalur yang sesungguhnya, ternyata semua benar, hanya kita yang cukup jauh melebar dari jalur yang seharusnya lebih cepat di jangkau. Rasa penasaran saya dan mas bibit tidak berakhir sampai di situ saja, saya berdua harus tetap melewati hutan mati tersebut saat perjalanan pulang nanti, untuk mengetahui jalur yang lebih jelasnya, tidak hanya melihat di atas sebuah kertas peta saja.
Kami berdua langsung bergegas menuju pondok saladah, disana kami temui para perempuan sedang packing-packing bersiap untuk turun, saya dan mas bibit memberi tahu mereka, jika hutan mati sesungguhnya tidak terlalu jauh dari pondok saladah ini. Dengan sedikit terkejut khas mereka masing-masing, mereka memperhatikan bukit putih tersebut, lalu saya bertanya pada mereka “ada yang neyesel ngak kita salah pilih jalan, sampai melewati padang batu yang panas tadi?” tanyaku. Jawaban mereka berbeda-beda, tetapi yang jelas tidak ada yang menyesal sama sekali, WOW benar-benar The strong women mereka semua, seneng banget mendaki bersama mereka, yang biasanya saya mendaki dengan perempuan yang lemah dan terkadang sampai sakit, kali ini bagaikan mendaki bersama senior semua he he he semoga bisa mendaki bareng lagi. Memang  mendaki gunung papandayan itu anak umur 7 tahun juga kuat jalan kaki sampai pondok saladah, bahkan puncak malahan, tapi yang kami alami saat itu benar-benar explorer, expedition, and adventure *lebay, kami lalui semua kawasan papandayan dengan tetap melaksanakan ibadah puasa kecuali tegal panjang, karena kami saat menuju kesana malah kesasar ke pangalengan dan puncak. Kami sepakat, “puncak bukanlah segalanya, tetapi segalanya ada di puncak” kami tidak ke puncak karena sebenarnya ingin mempersingkat waktu, tetapi Allah menakdirkan lain kepada kami, yaitu malah menjelajah kawasan papandayan yang jarang di lalui orang hi hi hi.
Packing.


Matahari sore semakin condong ke arah barat dan perlahan mulai tertutup di balik bukit pondok saladah ini, setelah kami berbincang-bincang, mulai bergantian mandi satu persatu dan melaksanakan ibadah ashar, setelah itu kami packing bersama lalu membongkar tenda dan siap perjalanan turun melewati hutan mati original he he he, waktu sudah menunjukan pukul 16:30 di pondok saladah ini hanya tinggal team kami yang paling terakhir, karena tetangga kami / para pendaki lainya sudah turun sejak siang tadi, jadi kami adalah “Team terakhir” seperti nama judul film “Pencarian terakhir” ngehehehe. Kami berkumpul membuat lingkaran dan berdo’a kembali agar di beri kemudahan saat turun nanti, setelah berdo’a selesai kaki kami bertumpukan di depan lingkaran  leader kami berteriak “Ganesha.........” lalu kami balas “Tamasya............” inilah ritual penyemangat kami biar kaya orang-orang kekekek. Setelah itu kami berjalan membuat barisan satu banjar ke belakang seperti formasi sebelumnya, dengan riang gembira di perjalanan mereka bernyanyi “ayo lihat semua, kapten kita datang, dari penjuru kota.............” dan seterusnya, sepertinya tidak asing di telinga lagu tersebut, lagu apa ya? Yup, benar jika anda menebak “Tsubatsa” ngahahaha. Itu di nyanyikan mereka pada saat itu, ngak apa-apalah daripada mas bibit nyanyi “Bila aku....” “harus mencintai, dan berbagi hati.....” gitu terus, mending ganti haluan he he he.
Hutan mati original





Tak begitu lama kami berjalan kami sudah melewati batas vegetasi dan memasuki hutan mati, ini dia hutan mati sesungguhnya....., kami berhenti-henti untuk mempotret view keren tersebut. Setelah dirasa cukup untuk mengambil gambar kami mulai melanjutkan perjalanan, kali ini jalan mulai menurun dan meninggalkan hutan mati, setelah kurang lebih lima belas menit kami meninggalkan hutan mati teh syifa dan erna memberi peringatan pada kami bahwa waktu berbuka telah tiba, kami semua langsung duduk dan minum sebotol air mineral bergantian. Subhanallah nikmatnya berbuka puasa setelah seharian berjalan tanpa henti di bawah terik sinar matahari, walaupun hanya minum tetapi nikmatnya tak terhingga he he he, baru saja duduk, kami harus paksakan diri untuk terus melanjutkan perjalanan, karena jika sudah terlalu gelap dan kita belum melewati kawah, akan sangat berbahaya,  jalur akan terlihat menjadi putih berbatuan dan sulit melihat jalur benar yang sesungguhnya. Kami bergegas dengan cepat, sehingga formasi kami terpecah menjadi dua seperti tadi siang, tetapi kali ini di tambah satu orang, yaitu seorang bapak penjaga pondok saladah yang turun bersama kami, beruntung ada bapak tersebut jadi kami tidak perlu khawatir salah jalan. Bapak tersebut sepertinya berjalan di paling depan yang di ikuti oleh dudu, novi, kak ines dan mas bibit, sedangkan erna teh syifa dan saya tertinggal paling belakang. 
Teh syifa dengan sabarnya masih menuntun erna seperti tadi siang, saya di paling belakang sesekali mengajak ngobrol teh syifa agar terdengar ramai atau bernyanyi sendiri agar tidak sepi, papandayan memang gunung yang lumayan terbuka, apalagi setelah sampai kawah dan turun ke bawah, tetapi tetap saja menjadi sweaper/ pendaki yang berjalan paling belakang harus selalu terkoneksi dengan depanya, setidaknya mengajak ngobrol walaupun obrolan tersebut tidak terlalu penting, terlebih di malam hari yang gelap dan sepi seperti ini. Karena biasanya senyaman-nyamanya orang yang berjalan di paling belakang, pasti akan ada rasa yang menganjal, seperti merasakan ada yang mengikuti (itu yang paling umum), di perhatikan oleh sekitar atau bahkan melihat jelas wujud sesuatu penunggu tempat tersebut (itu biasanya yang paling sial), seperti contoh di gunung merbabu dari sabana satu ke basecamp atau sebaliknya, mitosnya ada sosok perempuan yang konon hilang di sana dan sampai sekarang tidak di temukan dimana rimbanya, sehingga sering para pendaki yang pernah merasakan hal tersebut mengingatkan pada yang lain saat night adventure, untuk tidak mengarahkan cahaya senter/headlamp ke arah hal yang tidak perlu, kecuali jalur ke depan yang akan di laluinya.  
Jika perjalanan malam/nightventure saran saya untuk tetap terkoneksi/mengobrol dengan teman di depanya untuk si sweaper, jangan sampai pikiran kosong atau bahkan melamun, jangan sampai sepi senyap atau tanpa ada suara sama sekali, usahakan mendengarkan musik dengan suara sedang, jangan terlalu keras dan jangan terlalu pelan, jika tidak ada musik/habis battery selalu berdzikir menginggat Allah bagi yang muslim. (sumber: pengalaman pribadi saat turun merbabu, di tambah sharing-sharing dengan orang basecamp “merbabu nightventure”)

(“Basecamp/camp david” (19:00)

Tak terasa kami sudah sampai basecamp/camp david, kami langsung menuju warung tempat dimana pertama kali datang kami singgah disana, carrier mulai di turunkan dari pundak, kaki di luruskan agar tidak terjadi kram/otot tegang, dan mulai memesan minuman dengan selera masing-masing, saya dan teh syifa sedari tadi dalam perjalanan turun membicarakan tentang segarnya minuman bersoda he he he, hingga akhirnya kesampaian juga meneguk minuman bersoda di basecamp bersama. Setelah melepas lelah, bersama merasakan lapar karena memang saat sahur tadi pagi salah satu dari kami tidak ada yang makan sama sekali dan saat berbuka puasa hanya meminum beberapa teguk air mineral bersama-sama, yang pasti di pikiran kami semua membutuhkan nasi untuk asupan makanan yang mengenyangkan perut, kami langsung memesan nasi goreng kepada ibu warung “nasi gorengnya habis” jawab si ibu warung, muka kami langsung layu semua bagaikan sawi di pinggir sawah yang di landa musim kemarau, “terus yang ada tinggal apa bu?” tanya salah satu dari kami “tinggal mie rebus” jawabnya kembali. Yowis daripada ndak makan sama sekali kita memesan mie rebus tersebut, dengan selera masing-masing ada yang pedas menggunakan cengek/cabe ada pula yang biasa, “semua pake telor ya, biar ada gizinya” pinta teh syifa pada kami semua, kami semua mengangguk mengiyakan. Setelah makan bersama kami mencari tempat untuk beristirahat malam ini, karena mobil pick up yang akan membawa turun kami sudah tidak ada. Bapak penunggu basecamp menawarkan pada kami untuk tidur di pos tempat pendaftaran, dengan senang kami menerima tawaran bapak tersebut lalu kami langsung membawa barang-barang kami kesana, di lanjutkan shalat maghrib, isya dan tarawih di dalam pos tersebut.

Setelah ba’da shalat saya, teh syifa, kak ines, erna dan mas bibit cerita-cerita, sedangkan dudu dan novi tidur lebih dulu, biasanya jika setelah melaksanakan pendakian, secara umum akan bercerita tentang pengalaman yang di alami saat di atas tadi, atau pengalaman saat mendaki gunung lainya yang berbau horor ho ho ho, tetapi berhubung tetehku yang satu ini teh syifa dan erna kalau kami sedang bercerita dia berdua selalu tutup telinga, padahal bukan cerita serem, cuman ngagetin aja ngeheheh, lalu kami merubah dengan bercerita tentang pengalaman hidup masing-masing, sampai kantuk melanda kami ber empat, kenapa jadi ber empat padahal tadi awalnya yang cerita ber lima? Karena erna telah gugur terlebih dahulu di pangkuan teh syifa, mungkin dia angkap kami sedang mendongeng.

Day 4 (03:00)

Alarm mulai berdering pertanda kami harus bangun untuk melaksanakan ibadah sahur, saya membuka mata dan melihat teh syifa sudah duduk mencoba membangunkan yang lain, walaupun sudah di dalam ruangan sekalipun tetapi dingin tetap sama seperti saat ngecamp di atas, saya tidak dapat membayangkan seberapa dinginya teh syifa yang sejak awal tidur tidak menggunakan sleeping bag, dia hanya menggunakan jaket dan mukenanya untuk tidur karena memang sejak awal teh syifa tidak membawanya karena di pinjamkan oleh rekanya dan belum di kembalikan. kami semua langsung membuka snack yang tersisa untuk sahur, kami tidak bisa menemukan sesuatu yang hangat karena keadaan kami cukup darurat, warung ibu yang tempat kami membeli mie instan kemarin tutup ibunya turun terlebih dahulu, teh syifa kemarin hanya belanja susu dan air mineral saja untuk kebutuhan sahur, kompor kami rusak kemarin saja kita meminjam kompor orang, ya sudah karena serba darurat kita gunakan apa yang ada saja. Tak lama setelah kami menyantap snack bersama, ada seorang bapak yang masuk membawa baki memberi air hangat kepada kami semua, Alhamdulillah ucap kami semua, Allah selalu menolong kami saat kami benar-benar dalam kesulitan, inilah yang di sebut berkah ramadhan, kalo kata mas bibit rejeki anak soleh he he. Setelah sahur bersama dan di lanjutkan shalat subuh lalu kami packing kembali bersiap untuk turun, sambil menunggu mobil pick up datang. Sekitar pukul 06:00 mobil pick up datang dan salah satu dari kami bernegoisasi, lalu setelah mendapatkan harga yang pas kami langsung jalan.
Always smile.
Entahlah aku tidak dapat menjelaskan semua ini. Ngehehe

Team ceria

Kak ines menikmati mentari pagi.

mas Bibit dengan gaya anehnya, aku yg salah foto ceunah kekekek



Cisurupan.

Setelah sampai di pertigaan cisurupan saya, novi, dudu, kak ines, teh syifa domisili bandung berpisah dengan domisili jakarta  mas bibit dan erna. saya dkk. Naik mobil bis kecil yang jurusan garut-luwipanjang sedangkan mas bibit dan erna naik anggkutan umum menuju terminal guntur lalu dilanjutkan bis yang ke jakarta. Saya dkk. Berpamitan pada mas bibit dan erna lalu naik ke bis dan berangkat lebih dulu dari mereka, perjalanan kami menempuh selama dua jam lebih perjalanan hingga sampai di terminal luwi panjang dan kami lanjutkan dengan naik damri menuju dipati ukur.

kak ines, novi dan dudu turun di ITB, sedangkan saya dan teh syifa turun di unpad jl.dipati ukur.

See you Again and Next trip.


Ridwan Junior
My life My explorer