Rabu, 27 Januari 2016

Wisata dalam Tragedi Leuwi Hejo

Petualangan saya kali ini wisata bersama sahabat, tepatnya setelah tahun baru 2016 kemarin, dimana perjalanan kali ini menjelajahi kota Bogor jawa barat.
Tujuan wisata kali ini bertemakan alam yaitu “Leuwi Hejo” wisata disini adalah mandi di sungai yang mengalir dari balik bukit, letaknya berada di Desa Cibadak Kec. Sukamakmur – Bogor Indonesia. Perjalanan kami dimulai dari Jakarta menuju kota Bogor dengan menggunakan sepeda motor, kami berangkat 8 orang menggunakan 4 motor berboncengan. Keberangkatan dimulai dari kebon jeruk Jakarta barat pada pukul 5:30 WIB. Kami menyusuri Jl.Jendral Gatot Subroto lalu melewati jl.Dewi Sartika dan jl.Raya Bogor menuju sentul.

Matahari semakin meninggi, kamipun tiba di lokasi wisata setelah 3 jam perjalanan yang cukup menyenangkan, di sepanjang perjalanan kami di suguhkan oleh alaminya suasana pedesaan yang asri dan penduduknya yang sangat ramah. Sesampainya di lokasi kami memarkirkan motor, berjalan menyusuri desa, melewati tebing dengan jalan setapak yang jalurnya sedikit menanjak (trekking), melewati bibir sungai, lalu sampailah kami di tempat wisata tersebut (di lereng bukit), perjalanan dari parkiran menuju lokasi wisata berjarak sekitar 10km. Kami bergegas menganti pakaian lalu berenang. sejuk air sungai membuat tenang pikiran, badan akan terasa segar setelah berendam, berenang atau hanya sekedar bermain air di bibir sungai. Kami mencoba ke sungai bagian atas, karena model sungai ini berbentuk turunan dari atas lembah, di atas sana pula terdapat air terjun yang tinggi sekitar 8 meter. memang tidak terlalu curam, tetapi cukup sulit untuk menuju ke atas sana karena sedikit menyisir ke kanan menghindari aliran air dari atas. Di tempat tersebut banyak sekali  pengunjung yang naik ke atas sana, lalu melompat untuk menguji andrenalin mereka masing-masing. Di bawah air terjun tersebut airnya cukup dalam, saya mencoba berenang menuju kedalamanya yang saya perkirakan kedalaman airnya mencapai 3-4 meter, di dasar air berupa batu dan pasir. Bibir sungai diapit oleh dua tebing yang menjulang tinggi di sebelah kiri dan kanan, sehingga jika longsor akan menutup aliran sungai ini.

Cukup lama kami berenang, waktu menunjukan pukul 11:00 siang, kami memutuskan untuk beristirahat. Kami menuju sebuah warung yang berada di lereng bukit cukup curam, dengan tangga penghubung menuju ke atas berbentuk kelokan-kelokan, jalan setapak tersebut cukup licin tanahnya akibat guyuran hujan semalam, membuat kami harus extra hati-hati melewatinya. selain licin kami juga harus antri karena jalan cukup sempit, saling gantian satu sama lain, membuat kami menunggu dan bersabar menghormati satu sama lain dengan sesama penggunjung.
Akhirnya kami sampai juga di warung pertama, karena ke atas sana saya perhatikan masih banyak warung-warung yang berdampingan lebih dari satu. Kami duduk dan beristirahat, ada yang membawa bekal makanan dari rumah, ada pula yang memesan bakso di warung tersebut dsb. Saya dan adik saya Dikky memesan bakso. Tio memesan kopi di warung, Andre dan mas Bahrul makan bersama di atas kertas nasi bekalnya, mas Iyan dan mbak Ade dengan romantisnya makan bakso satu piring berdua, sedangkan Sutriz sibuk menghisap tembakau kering yang ada di tanganya. itulah team kami, sahabat, teman saya, dari saya masih kecil hingga saat ini kami beranjak dewasa.

Setelah beristirahat lebih dari 60 menit kami memutuskan untuk turun kembali ke bawah menuju sungai untuk kembali berenang, cuaca hari ini sangat cerah dan cukup panas sehingga gairah untuk berenang semakin bertambah, terlebih perpaduan antara udara segar pegununggan di tambah dinginya air lembah dan cuaca yang panas membuat kami semakin betah di dalam air, my country like heaven! Ber jam-jam kami berenang bersama, bercanda, tertawa, melepas semua penat dan stress yang menghinggapi kami semua, melepas rindu bersama sahabat, dimana dahulu berangkat sekolah bersama, bermain bersama, di marahin juga bersama-sama, tak disangka sekarang sudah beranjak dewasa semua, terpisah karena mengejar impian/cita-cita masing-masing. tentunya masih dapat bersama seperti saat ini, walaupun hanya sementara dan begitu cepat, tetapi sangat berkesan dapat kembali main bersama seperti saat ini.
***
  
Tak terasa waktu menunjukan pukul 14:00. Awan yang sangat cerah, berubah menjadi mendung tebal, saya memperhatikan sejak tadi pengunjung semakin ramai dan banyak sekali yang baru datang, padahal hari semakin sore. Sutriz, Andre dan Tio sudah menepi dari sungai terlebih dahulu, hanya sisa saya, Dikky mas Bahrul, mas Iyan dan mbak Ade, yang masih di tengah sungai. Setelah melihat mendung yang semakin gelap dan hari semakin sore kami semua memutuskan untuk membilas badan, berganti baju lalu bergegas pulang. Sutriz, Andre, mas Bahrul dan mbak Ade, berbilas terlebih dahulu, karena tempat pembilasan sangat penuh dan antre oleh pengunjung, sedangkan sisa dari kami menunggu tas di bibir sungai. Lama kami menunggu di pinggir sungai, hari semakin sore dan antrian semakin panjang, kurang lebih setengah jam kemudian mereka kembali dan kami pun bergegas untuk bergantian, saya, Dikky, mas Iyan dan Tio pun buru-buru bergegas mencari antrian yang pendek agar segera mengganti baju. Tak begitu lama giliran saya dan Dikky masuk ke ruang ganti hujan pun turun dengan derasnya, mendung begitu gelap dan petir bersahutan menandai awal turun hujan yang sangat lebat.

setelah selesai, saya dan Dikky menunggu di depan ruang ganti baju tersebut, berharap hujan segera reda. Saya memandang sekitar mencari Tio dan mas Iyan, yang ternyata pergi terlebih dahulu membantu teman-teman berada di pinggir sungai untuk menyelamatkan tas dan barang bawaan kami ke tempat teduh. jarak meneduh saya dan Dikky dengan mas iyan dengan kawan-kawan hanya 50 meter. posisi saya berada di atas (tempat bilas dan ganti baju) sedangkan mas Iyan dkk. Berada di bawah dekat dengan sungai (berteduh di bangunan yang terbuat dari seng). Saat itu tempat berteduh sangat terbatas, hanya ada beberapa warung, bangunan dari seng dan tempat bilas, sehingga orang yang tidak kebagian tempat untuk berteduh terpaksa harus melanjutkan perjalanan menuju ke parkiran. Mungkin di dalam benak mereka mengatakan, “terlanjur basah mengapa harus berteduh”? sedangkan alasan kami berteduh karena habis mengganti baju, selain itu jalur menuju tempat parkiran memang sangat licin dan cukup rawan longsor, terlebih jika hujan turun dengan sederas ini, tak dapat di bayangkan akan seperti apa jalan setapak tersebut.

1 jam, kami menunggu hujan tak kunjung reda, mas Iyan dkk. Yang berada di bawah saya memberi kode tangan untuk segera turun mengikuti mereka, sayangnya yang melihat tanda tangan tersebut adik saya Dikky, sedangkan saya sedang membereskan baju basah. Dikky mengatakan “mas aku tadi kayaknya liat mas Iyan ngasih kode nyuruh turun deh, tapi mas Iyan apa bukan ya, takut salah liat?” tanyanya dengan sikap labil. Saya sedikit binggung memberi keputusan untuk menyusul turun atau tidak, jika saya dan Dikky turun yang saya takutkan orang tersebut bukan mas Iyan. tetapi jika memang benar tadi mas Iiyan yang memberi kode, kami berdua akan tertinggal oleh rombongan kami. Dalam diri saya bukan takut tertinggal oleh mereka, tetapi jika mereka sudah duluan dan menunggu di parkiran sedangkan saya dan Dikky masih meneduh dan menunggu, akan terjadi saling tunggu menunggu. Kami berdua menunggu dalam keadaan kering, sedangkan mereka dalam keadaan basah kuyup menunggu kami berdua.

Hingga akhirnya saya memutuskan turun dengan adik saya, kami menerabas hujan, turun beberapa langah dan menyeberangi sebuah parit (aliran sungai kecil dari atas bukit yang bermuara di sungai besar di bawah). jembatan parit tersebut hanya terbuat dari beberapa batang bambu, lalu tak jauh dari jembatan itu kami bertemu warung cukup besar dan di isi oleh beberapa orang untuk berteduh, saya memperhatikan dengan seksama ke dalam warung tersebut berharap mas Iyan dkk. Berada di dalam.  Ada secercah harapan setelah saya melihat Tio sedang asik berbincang dengan seseorang, rupanya tio mengobrol dengan rekan sesama Go-J*k yang baru dikenalnya. Lalu rekanya pergi melanjutkan perjalanan turun menuju parkiran.
“yo, mas iyan sama yang lainya mana?” tanyaku pada Tio, “tadi kayaknya udah duluan wan” sahutnya dengan nada kebinggungan. “gimana sih yo, kok malah misah dari mereka, padahal tadi barengan” seruku “ soalnya gw ngobrol sama temen gw tadi wan,” jawab tio kembali, waduh kalo udah kepisah gini bakal agak sulit jadinya batinku. Saya membuka handphone dan menanyakan keberadaan mas Iyan dkk. Tetapi tak ada balasan dari mereka, hampir setengah jam kami bertiga saya, Dikky dan Tio menanti kepastian di warung tersebut. Hingga akhirnya munculah kekhawatiranku setelah melihat jembatan bambu yang saya dan Dikky seberangi tadi hanyut terbawa derasnya air dari atas bukit, tersontak para pengunjung yang berada di warung itu kaget dan mulai panik. dalam kepanikan ada rasa syukur dalam hati saya, bersyukur saya dan adik saya sudah menyeberangi jembatan tersebut sebelum runtuh, karena setelah runtuhnya jembatan tersebut masih tersisa cukup banyak orang yang masih berada di atas sana. kemungkinan mereka akan sulit untuk turun karena jembatan penghubung satu-satunya tersebut telah terbawa oleh derasnya air.
Debit air semakin meninggi, sungai banjir sejak beberapa jam yang lalu, hujan semakin deras dan hari semakin gelap, saya, Dikky dan Tio semakin cemas karena terpisah dengan rombongan. saya mencoba untuk tidak larut mengikuti keadaan, karena semakin kita panik dan cemasan maka jalan pemikiran kita akan semakin buntu dan tidak dapat berpikir panjang dan jernih. Dengan tenang, saya mencoba mengambil keputusan dalam suasana serba kalut ini, pilihanya antara diam di tempat menunggu jawaban dari mereka via hanphone, atau berjalan menerabas hujan menyinggahi setiap tempat berteduh, berharap agar dapat bertemu mereka.

Akhirnya, saya memutuskan untuk terus berjalan, toh hujan sangat lama untuk reda, karena saya memperhatikan awan hitam berubah menjadi putih, yang menandakan hujan akan terjadi begitu lama bahkan kemungkinan sampai gelap tiba. Saya menyuruh Tio dan Dikky berjalan terlebih dahulu agar mereka tidak tertinggal di belakang, jalur yang kami lewati saat ini berputar melewati belakang beberapa warung di bawah menuju ke atas bukit. Hingga sampai jalan menurun melewati sebuah jembatan, kami menemukan sebuah warung yang kosong (tidak ada orang berteduh satupun di tempat tersebut) Tio dan di Dikky berniat berteduh di warung tersebut. tak beberapa lama mereka mendekati warung, ada seorang pemuda memberi informasi untuk tidak berteduh di tempat tersebut, karena mengantisipasi warung tersebut hanyut terbawa air seperti jembatan di atas tadi. Kami bergegas meninggalkan warung tersebut dan melanjutkan perjalanan turun. Setelah cukup lama kami berjalan, kami bertemu sebuah warung yang lebih besar dari tempat yang kami singgahi tadi, disana banyak sekali orang yang berteduh hingga tidak ada ruang lagi untuk orang masuk kesana, kami bertiga memperhatikan ke dalam warung, berharap disana ada mas Iyan dkk. Tetapi nihil, karena di dalam tidak ada satupun teman kami, hingga akhirnya kami memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan.

Jalanan mulai menurun cukup terjal, hingga kami bertiga di suguhkan pemandangan yang kurang enak dipandang oleh mata. ada sebuah jembatan kayu yang cukup kokoh di terjang air yang debit airnya sudah melampaui permukaan jembatan tersebut, tetapi jembatan tersebut masih sangat kuat tak tergeser sedikitpun (debit air tersebut berasal dari punggungan bukit di atas sana), setelah jembatan tersebut terdapat jalan setapak melewati pinggir tebing (di sebelah kanan) setinggi 5 meter, dan aliran sungai sangat deras (di sebelah kiri) lalu turun sangat curam  setelah itu sedikit menanjak dari hadapan kami bertiga. tak sampai di situ, jalan setapak turun tersebut di penuhi oleh aliran air yang  deras, air tersebut berasal dari tampiasan (aliran air menabrak jembatan lalu aliranya berpindah ke jalan setapak tersebut). Yang sedikit menjadi persoalan kami, setelah jembatan adalah jalan setapak tersebut turun beberapa meter lalu naik, jadi jalur yang di aliri oleh air memang hanya sepanjang beberapa meter saja dari setelah jembatan sampai jalan menanjak di bawah sana, tetapi derasnya air menggalir turun ke bawah lalu belok ke kiri langsung mengarah ke sungai, kemungkinan jika terpeleset setelah jembatan tersebut akan terperosok terbawa air dan terbanting ke kiri lalu hanyut di telan banjir di sungai besar  sebelah kiri kami. pemandangan yang cukup menantang dari kami bertiga.

Dari atas (warung yang tadi kami singgahi) terdengar suara sayup bersamaan dengan derasnya suara hujan, “mas, arusnya deras paling nanti ngak akan bisa lewat” teriaknya. Tio dengan wajah sedikit ragu mengajaku untuk kembali ke warung tersebut dan menunggu disana saja. Saya mencoba mendekati jembatan dan memperhatikan seberapa kuat jembatan tersebut di terpa oleh derasnya air dari atas bukit, lalu mencoba menginjak dan waspada mengantisipasi jika terjadi hal yang tidak diinginkan. setelah saya injak-injak dan dirasa cukup aman untuk menyeberang saya memanggil Dikky dan Tio untuk menuju ke arah dimana saya berdiri sembari berkata “jembatanya cukup kuat, jadi jangan takut” rayuku agar menghilangkan rasa takut yang mereka berdua rasakan. tak beberapa lama saya berbincang dengan mereka berdua dari bawah sana terlihat sayup-sayup mas Iyan dan mas Bahrul berjalan menuju arah kami, dengan langkah kuat melewati jalan setapak yang di penuhi air deras akhirnya mereka sampai di atas jembatan mendekati kami bertiga, “darimana mas kok mau balik ke atas lagi?” tanyaku “tadi di kasih tau sama orang kalo tempat parkiran kita longsor, makanya kita berdua turun ke bawah nylametin motor dulu” jawab mas iyan “yang lainya pada dimana mas” tanyaku kembali “masih di atas semua, emangnya ngak ketemu?” sahut mas Iyan. ini pasti terlewat gara-gara kami bertiga melewati belakang warung tadi gumamku. saya perintah Tio dan Dikky untuk menyeberangi jembatan dan jalur setapak yang di aliri air tersebut terlebih dahulu, lalu menunggu di warung yang kosong setelah jalur air tersebut. Mereka berdua langsung bergegas menyeberanginya dengan hati-hati, sedangkan saya, mas Iyan dan mas Bahrul kembali ke atas untuk menjemput yang lainya. Sesampainya di atas dan bertemu teman-teman yang lainya kamipun berkemas dan langsung kembali menuju ke bawah.
***


Sesampainya kami di jembatan tadi, kami terkejut melihat air semakin deras, arus yang tadinya dengan skala sedang saat ini menjadi sangat tinggi, keraguan kami untuk menyeberanginya semakin terasa. Saya mencoba melangkah terlebih dahulu untuk memastikan kondisi aman atau tidaknya untuk di seberangi. dengan mengondisikan jalur, saya membuat jalan lebih menempel ke dinding tebing agar menghindari menginjak aliran air deras, dan mencari-cari akar pohon yang kuat untuk peganggan minimal menahan badan kami satu-persatu, lalu saya berdiri di samping derasnya air tersebut untuk menjaga mereka yang menyeberang agar tidak terpeleset dan jatuh ke air. Setelah saya anggap cukup aman untuk di seberangi, sayapun memberikan isyarat kepada teman-teman untuk maju satu persatu bergantian, satu demi satu teman saya mulai menyeberang dengan peganggan akar pohon di diding tebing dan bertumpuan pada badan saya agar tidak terpeleset ke dalam air. Sampai tiba giliran teman saya yang terakhir, tiba-tiba dari atas banyak sekali sekelompok orang yang turun dan ingin ikut menyeberang, padahal sebelumnya mereka berteduh dan hanya menunggu di warung, mungkin mereka sebelumnya sedikit takut untuk menyeberangi jembatan ini, karena derasnya debit air yang sewaktu-waktu dapat menggulingkan jembatan, tetapi setelah melihat kami menyeberang, mereka tertarik ingin ikut menyeberang seperti kami. Dengan selalu bertambahnya debit air yang semakin tinggi dan deras, saya sempat berfikir untuk segera meninggalkan jembatan tersebut, tetapi niat tersebut saya urungkan karena ini kesempatan saya untuk dapat membantu antar sesama, dimana mereka pastinya juga ingin selamat seperti kami dan keluarganya menunggu di rumah. Dengan tekad kuat dan keyakinan, saya tetap berdiri di tempat untuk membantu menahan mereka seperti apa yang saya lakukan kepada teman-teman saya tadi. Dikky mas Bahrul dan Sutriz dengan sigap mengambil batang pohon di dekat kami untuk menahan tanah yang saya pijaki agar tidak tergerus oleh derasnya air. Satu persatu dari sekelompok orang tersebut menyeberang, hingga saat tertinggal segelintir orang yang belum menyeberang, terdengar teriakan lantang dari mas Bahrul “Buruan cepet geraknya dong, debit airnya makin nambah nih” sambil menahan batang kayu di bawah saya, tak lama setelah teriakan tersebut, benar saja tanah yang saya pijaki mendadak longsor, kaki saya terbawa arus cukup kuat, sutris yang paling dekat dengan posisi saya langsung menarik badan saya agar tak tercebur semua ke dalam arus deras tersebut. Dengan sedikit terkejut saya bergegas mencari kembali pijakan yang kuat agar saya dapat berdiri kembali. Sekelompok orang yang belum menyeberang akhirnya dapat menyeberang kembali sampai semuanya selamat termasuk team kami, dengan langkah cepat kami melanjutkan perjalanan menuju parkiran.

Team kami berada di paling belakang sedangkan kelompok orang yang kami tolong tadi meninggalkan kami, entahlah apa yang ada di benak mereka, yang jelas dari hati saya sendiri setidaknya ucapan terimakasih sudah lebih dari cukup bagi team saya dan terutama saya, memang saya tidak mengharapkan, tetapi minimal menunggu kami dan berjalan bersama itu lebih baik, daripada berpisah jalan duluan. Memang itu ilmu yang saya dapatkan tentang bagaimana sifat seseorang ketika berada di alam, semua akan terlihat sifat asli dari diri masing-masing, egois, masa bodo, tidak peduli, penakut, pengecut dan malas atau lain sebagainya akan sangat terlihat, “berbagi waktu dengan alam, kau akan tau siapa dirimu yang sebenarnya”.
Setelah beberapa menit kami berjalan terlihat di depan beberapa kelompok yang tertinggal dari mereka sedang antri jalan satu-persatu saya mencoba mendekati mereka, ternyata jalan setapak yang akan kami lalui longsor setinggi 3 meter, (sebelah kanan terdapat tebing setinggi 5 meter dan kiri jurang yang langsung masuk ke sungai) sehingga memaksa mereka jalan bergantian. saya dan teman-teman lainya sedikit waspada melihat dinding tebing di atas longsoran tersebut masih bergerak, yang akan menimbulkan terjadi longsoran berikutnya. dengan cepat saya perintah  teman-teman untuk berjalan dahulu, dan memprioritaskan anak kecil serta perempuan terlebih dahulu untuk lewat, menghindari hal yang tidak diinginkan terjadi saat melewati longsoran tebing tersebut, setelah itu dilanjutkan oleh laki-laki. Satu demi satu sisa kelompok mereka dan beberapa teman saya berjalan dengan lancar, dan tiba saatnya giliran Andre, Sutriz dan saya di paling belakang untuk maju. tiba-tiba tanah dinding tebing mulai berguguran kembali dengan skala besar, karena posisi saya paling belakang, saya langsung refleks menarik badan sutriz dan andre ke belakang menghindari longsoran tersebut, setelah saya lihat andre dan sutriz baik-baik saja saya langsung berteriak menanyakan bagaimana keadaan mereka yang sudah berada di depan khawatir ada yang tertimbun atau terhempas longsoran, respon mereka berkata jika teman-teman yang di depan aman, Alhamdulillah saya merasa sangat lega mendengarnya. Posisi kami bertiga terpisah oleh longsoran tebing dengan teman-teman yang lainya, sehingga memaksa kami bertiga yang masih di belakang mencari jalan lain.

Akhirnya kami bertemu kembali dengan teman-teman yang lain di desa. Sesampainya di sana mas Iyan memberi kabar jika adik saya Dikky kakinya terkilir karena tertimbun tanah oleh longsoran tadi, beruntung beberapa orang yang bersama adik saya dengan sigap menarik Dikky agar tidak tertimbun oleh longsoran tersebut. Penjelasan beberapa orang yang melihat kejadian tersebut kaki dikky sudah tertimbun lalu di tarik paksa oleh mereka agar tidak terdorong oleh tanah masuk ke dalam jurang, saya merasa sangat bersyukur karena adik saya selamat dari maut tersebut walaupun kakinya terkilir cukup parah. Kami di tolong oleh warga dan adik saya langsung di carikan tukang urut terdekat. setelah cukup lama kami singgah di teras salah satu rumah warga akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju parkiran, bapak yang mengurut kaki adik saya sangat baik dan tidak pamrih, kebaikan bapak tersebut hanya saya balas dengan uang sebesar 30rb saja, sejujurnya saya sangat malu sekali dengan apa yang bapak tersebut berikan pada keluarga saya bahkan untuk orang lain, ingin rasanya silahturahmi kembali kesana untuk bertemu bapak tersebut.
Dan akhirnya kami lanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta pada pukul 18:00 sore hari, hujan gerimis masih setia menemani kami sampai di Jakarta.

*****