Day 3 (05:00)
Sepanjang malam saya tidak terlalu nyenyak
tidur, walaupun tendanya mas bibit's cukup nyaman dan hangat, memang tendanya mas
bibit bagus ceunah, tenda beli di Belanda saat mas bibit study S2 disana,
walaupun demikian saya tetap tidak nyenyak untuk memejamkan mata.
Saya selalu melihat jam tangan, masih menunjukan pukul 00:00 tengah malam, hingga saya mulai terlelap yang sesungguhnya mungkin sekitar pukul 00:30, itu saya mulai merasakan tidur yang sesungguhnya. Hingga pukul 03:00 saya terbangun kembali, saya berfikir masih jam tiga pagi terlalu dini untuk membangunkan mereka sahur, maka dari itu saya lanjutkan tidur kembali, tak terasa tidurku kebablasan hingga pukul 05:00 pagi, saat saya bangun dan melihat jam, kaget bukan kepalang, saya bangunkan mas bibit, “mas bangun sahur, sahur satu jam yang lalu” sambil mengoyang-goyangkan tanganya. Tadinya saya mengira ini masih jam empat pagi, padahal sudah jam lima, mas bibit bangun dan melihat jam, sambil bertanya “ini jamku yang rusak, apa kita yang kesiangan ya wan” tanyanya, “jam kamu sing rusak koyone mas” sahutku sambil membuka tenda, setelah saya membuka tenda lebih kaget lagi, karena di saat itu cukup gelap, saya melihat sesuatu lumayan besar di depan tenda kami, dengan sedikit bergoyang-goyang, saya panik dan mencoba mengusir, “hus, hus.....” teriakku, saya langsung teringat jika di pondok saladah ini masih terdapat babi hutan. Dengan cepat saya panggil mas bibit, tetapi mas bibit sepertinya masih setengah bangun, karena itu dia tidak konsen pada panggilan saya. Tak lama saya memanggil mas bibit, di dalam tenda cewek-cewek ada yang berteriak “ines, ines” panggilnya, sepertinya itu suara teh syifa yang sedang mencari kak ines, saya menjadi penasaran dan memberanikan diri untuk membuka tenda lalu melihat kembali sesuatu yang berada di luar tenda tadi, setelah saya dengar dan perhatikan seksama, sesuatu yang bergoyang-goyang tersebut merintih kedingginan, kalo masalah makhluk halus saya tidak terfikir sampai di situ, dan jika itu benar seekor babi hutan, masa seekor Pig kedingginan?, yang saya takuti jika sesuatu tersebut benar-benar babi liar, secara otomatis makanan yang di luar tenda akan habis di obrak-abrik binatang tersebut.
Panggilan suara teh syifa terdengar kembali “nes, ines kamu dimana” panggilnya. Saya merasa takut dan binggung, takut yang di depan tenda seekor babi sungguhan dan binggung kak ines hilang kemana. masa kak ines hilang, kemanakah kak ines menghilang? Dan sosok apakah yang ada di depan tenda tersebut? Ini masih menjadi pertanyaan misterius di kala ketakutan dan kebinggungan sedang melanda.
Dan akhirnya misteri tersebut terpecahkan, sesuatu di depan tenda kami tersebut serta hilangnya kak ines adalah jeng-jeng.............. setelah panggilan kedua dari teh syifa, kak ines membalas “iya-iya” sambil menahan rasa dingin yang menerpanya, eh ternyata yang bergoyang-goyang di depan tenda adalah kak ines, yang merasa kesempitan saat di dalam tenda, oleh sebab itu makanya dia tidur di luar.
Dengan sedikit menahan tawa, Ya Allah kak ines, saya fikir tadi apa dalam hati saya. Saya tidak ngomong secara langsung karena takut menyinggung perasaanya. Masa kak ines di samakan dengan itu. Astagfirullah, maafkan saya ya kak, maaf. Tapi akhirnya saya cerita juga pada kak ines, dan dia malah ikut tertawa he he he.
Saya selalu melihat jam tangan, masih menunjukan pukul 00:00 tengah malam, hingga saya mulai terlelap yang sesungguhnya mungkin sekitar pukul 00:30, itu saya mulai merasakan tidur yang sesungguhnya. Hingga pukul 03:00 saya terbangun kembali, saya berfikir masih jam tiga pagi terlalu dini untuk membangunkan mereka sahur, maka dari itu saya lanjutkan tidur kembali, tak terasa tidurku kebablasan hingga pukul 05:00 pagi, saat saya bangun dan melihat jam, kaget bukan kepalang, saya bangunkan mas bibit, “mas bangun sahur, sahur satu jam yang lalu” sambil mengoyang-goyangkan tanganya. Tadinya saya mengira ini masih jam empat pagi, padahal sudah jam lima, mas bibit bangun dan melihat jam, sambil bertanya “ini jamku yang rusak, apa kita yang kesiangan ya wan” tanyanya, “jam kamu sing rusak koyone mas” sahutku sambil membuka tenda, setelah saya membuka tenda lebih kaget lagi, karena di saat itu cukup gelap, saya melihat sesuatu lumayan besar di depan tenda kami, dengan sedikit bergoyang-goyang, saya panik dan mencoba mengusir, “hus, hus.....” teriakku, saya langsung teringat jika di pondok saladah ini masih terdapat babi hutan. Dengan cepat saya panggil mas bibit, tetapi mas bibit sepertinya masih setengah bangun, karena itu dia tidak konsen pada panggilan saya. Tak lama saya memanggil mas bibit, di dalam tenda cewek-cewek ada yang berteriak “ines, ines” panggilnya, sepertinya itu suara teh syifa yang sedang mencari kak ines, saya menjadi penasaran dan memberanikan diri untuk membuka tenda lalu melihat kembali sesuatu yang berada di luar tenda tadi, setelah saya dengar dan perhatikan seksama, sesuatu yang bergoyang-goyang tersebut merintih kedingginan, kalo masalah makhluk halus saya tidak terfikir sampai di situ, dan jika itu benar seekor babi hutan, masa seekor Pig kedingginan?, yang saya takuti jika sesuatu tersebut benar-benar babi liar, secara otomatis makanan yang di luar tenda akan habis di obrak-abrik binatang tersebut.
Panggilan suara teh syifa terdengar kembali “nes, ines kamu dimana” panggilnya. Saya merasa takut dan binggung, takut yang di depan tenda seekor babi sungguhan dan binggung kak ines hilang kemana. masa kak ines hilang, kemanakah kak ines menghilang? Dan sosok apakah yang ada di depan tenda tersebut? Ini masih menjadi pertanyaan misterius di kala ketakutan dan kebinggungan sedang melanda.
Dan akhirnya misteri tersebut terpecahkan, sesuatu di depan tenda kami tersebut serta hilangnya kak ines adalah jeng-jeng.............. setelah panggilan kedua dari teh syifa, kak ines membalas “iya-iya” sambil menahan rasa dingin yang menerpanya, eh ternyata yang bergoyang-goyang di depan tenda adalah kak ines, yang merasa kesempitan saat di dalam tenda, oleh sebab itu makanya dia tidur di luar.
Dengan sedikit menahan tawa, Ya Allah kak ines, saya fikir tadi apa dalam hati saya. Saya tidak ngomong secara langsung karena takut menyinggung perasaanya. Masa kak ines di samakan dengan itu. Astagfirullah, maafkan saya ya kak, maaf. Tapi akhirnya saya cerita juga pada kak ines, dan dia malah ikut tertawa he he he.
Setelah fix kami kesiangan dan tidak ada yang
sahur sama sekali, lalu kami melaksanakan shalat subuh berjamaah. Pagi itu
udara sangat dingin, udara khas musim panas di bawah garis khatulistiwa, saya
menengok jam tanganku, untuk memperkirakan temperatur udara di pagi itu, thermometerku menunjukan suhu pagi ini lebih
dingin daripada tadi malam, sekitar kurang lebih sepuluh derajat celcius,
memang tidak akurat sangat jam tanganku ini, tetapi setidaknya ada yang dapat
digunakan untuk patokan, daripada tidak ada sama sekali. Setelah ba’da shalat,
teman-teman bergegas menuju sebuah tebing yang tidak jauh dari tempat camp
kami, tepatnya jalan setapak dari arah pertigaan lawang angin menuju pondok
saladah ini, jalur yang dimana kami lalui sebelum masuk pondok saladah.
Ini dia yang kami tunggu, sebuah sunrise yang
indah nan menenangkan adalah sebuah obat lelah yang tak akan tergantikan oleh
apapun, obat kecewa yang tak tertandingi oleh segalanya. (Masih enak di rumah
aja? Makanya jalan-jalan broo sis, indonesia ini indah sob, sayang kalo ngak kamu
singgahi satu per satu.) kami sangat takjub akan apa yang Allah ciptakan dan
berikan kepada kami semua, dalam benakku berkata “Alam ini terlalu indah untuk
kita rusak”. Oleh karena itu mulailah dari diri sendiri untuk menjaganya,
bukankah manusia di takdirkan oleh Allah sebagai khalifah di bumi ini,
seharusnya menjaga bukan merusak, Allah sudah menakdirkan kita untuk menjadi khalifah,
maka dari itu kita harus menjaga amanah itu, benar tidak? Kok malah jadi khatib
gini ya he he he, ini hanya mengajak/menginggatkan kembali saja, mudah-mudahan
kita selalu menjadi hamba yang ingat dan menerapkan/menjalani perintah-NYA.
Oke lanjut, setelah itu kami berfoto-foto sejenak, saya melihat mereka foto aja udah seneng apalagi kalo di ajak foto. ngak pede-an orangnya ngehehe. Setelah kurang lebih setengah jam kami menikmati sunrise di bibir tebing tersebut, kami bergegas menuju tenda kembali untuk bersiap-siap melakukan perjalanan menuju tegal alun.
Oke lanjut, setelah itu kami berfoto-foto sejenak, saya melihat mereka foto aja udah seneng apalagi kalo di ajak foto. ngak pede-an orangnya ngehehe. Setelah kurang lebih setengah jam kami menikmati sunrise di bibir tebing tersebut, kami bergegas menuju tenda kembali untuk bersiap-siap melakukan perjalanan menuju tegal alun.
Kami berangkat meninggalkan pondok saladah
pukul 07:00 pagi, melewati sebuah sungai kecil yang mengalir sangat jernih,
lalu mulai menanjak curam ke atas sebuah bukit tepat di depan pondok saladah
tersebut, entah bagaimana kita dapat bertemu jalan ini, kami hanya terpaku oleh
jalanan setapak menuju sebuah puncak bukit, yang di balik bukit tersebut kami
yakini lokasi tegal alun tersebut.
Kami mendaki dan mendaki, semakin tinggi semakin sulit medan yang kami lalui, bahkan angel karamoy/dudu sempat terpeleset hampir jatuh ke jurang karena sedikit kurang konsentrasi.
Kami mendaki dan mendaki, semakin tinggi semakin sulit medan yang kami lalui, bahkan angel karamoy/dudu sempat terpeleset hampir jatuh ke jurang karena sedikit kurang konsentrasi.
Dengan
semangat " ﻣَﻦْ ﺟَﺪَّ ï»َﺟَﺪَ" kami terus bergerak, dan dengan rasa “ﻣَﻦْ ﺻَﺒَﺮَ ﻇَï»”ِﺮَ” kami lewati rintangan ini sampai puncak bukit.
Akhirnya kami sampai di jalan setapak yang landai di atas puncak bukit, kami bertemu dengan tiga rombongan team, satu team dengan jalur yang sama dengan kami, satu team dengan jalur yang berbeda, dan satu teamnya lagi kalo gak salah pecahan team dari team yang bareng dengan kami tadi, tetapi tidak tahu mereka dari jalur mana. Kami bertemu di atas bukit dan satu tujuan untuk menuju lokasi tegal alun. Setelah berjalan bersama sejauh dua sampai tiga Km. Kami menemukan persimpangan jalan, karena belum ada yang pernah kesini dari sekian orang yang ada di situ, terpaksa bagi tugas untuk explore jelajah mencari jalur, sebagian dari beberapa team mereka mengambil jalur kanan sedikit menurun, sedangkan mas bibit dan beberapa orang lainya mengambil jalur kiri dengan jalan sedikit menyempit dan mulai tak terlihat jalan setapaknya. Setelah beberapa menit kami berteriak menanyakan jalan mana yang benar, ternyata jalan yang sesungguhnya berada di jalur ke kanan yang sedikit menurun. Kami semua lalu melanjutkan perjalanan menuju jalur yang benar, berjalan berbondong-bondong menuju tegal alun tersebut.
Setelah berjalan kurang lebih lima belas menit, sampailah kami di tegal alun *sebuah lokasi di balik bukit, dengan pemandangan padang bunga Edelweis dimana-mana, serta lapangan rumput hijau yang cukup subur tumbuh di sekitarnya. Kami langsung berlari bagaikan anak kecil melihat sebuah mainan yang sangat di sukainya, terbayar sudah kelelahan pendakian yang cukup menguras tenaga menakhlukan bukit di belakang kami.
Akhirnya kami sampai di jalan setapak yang landai di atas puncak bukit, kami bertemu dengan tiga rombongan team, satu team dengan jalur yang sama dengan kami, satu team dengan jalur yang berbeda, dan satu teamnya lagi kalo gak salah pecahan team dari team yang bareng dengan kami tadi, tetapi tidak tahu mereka dari jalur mana. Kami bertemu di atas bukit dan satu tujuan untuk menuju lokasi tegal alun. Setelah berjalan bersama sejauh dua sampai tiga Km. Kami menemukan persimpangan jalan, karena belum ada yang pernah kesini dari sekian orang yang ada di situ, terpaksa bagi tugas untuk explore jelajah mencari jalur, sebagian dari beberapa team mereka mengambil jalur kanan sedikit menurun, sedangkan mas bibit dan beberapa orang lainya mengambil jalur kiri dengan jalan sedikit menyempit dan mulai tak terlihat jalan setapaknya. Setelah beberapa menit kami berteriak menanyakan jalan mana yang benar, ternyata jalan yang sesungguhnya berada di jalur ke kanan yang sedikit menurun. Kami semua lalu melanjutkan perjalanan menuju jalur yang benar, berjalan berbondong-bondong menuju tegal alun tersebut.
Setelah berjalan kurang lebih lima belas menit, sampailah kami di tegal alun *sebuah lokasi di balik bukit, dengan pemandangan padang bunga Edelweis dimana-mana, serta lapangan rumput hijau yang cukup subur tumbuh di sekitarnya. Kami langsung berlari bagaikan anak kecil melihat sebuah mainan yang sangat di sukainya, terbayar sudah kelelahan pendakian yang cukup menguras tenaga menakhlukan bukit di belakang kami.
Dengan raut wajah yang riang para wanita dari team kami berfoto
ria di padang Edelweis tersebut, saya dan mas bibit duduk santai sambil
menikmati cerahnya hari itu. Lalu di tambah teh syifa dan erna yang ikut duduk,
bersama kami, mas bibit yang iseng memutar sebuah lagu malaysia yang berjudul
“Isabella” membuat kami heboh kembali, cuman gara-gara lagu isabella, kami
menjadi mengartikan lagu tersebut dengan versi masing-masing yang bertentangan, inilah team kami
selalu ceria, heboh, ramai dan saling menghibur. Team hore kata si novi he he
he. Sekilas jadi teringat team hore-horenya mas agus, yang berada di solo
“Ambemwati” nama teamnya, terdiri dari mas agus, mas sofyan, mas samto dkk.
Saya mendaftar menjadi ambemwati juniornya ceritane he he he, dimana-mana pasti
saya selalu menjadi junior. (anak bawang aja deh) kekekek, karena memang team
yang saya ikuti semuanya team senior ho ho ho.
Setelah cukup puas berdebat masalah lagu isabella dan berfoto ria dengan bunga abadi, kami beranjak dari nyamanya duduk kami dan memulai perjalanan untuk menuju lokasi selanjutnya, yaitu adalah “Mati Hutan” saya menyebutnya demikian, dari tegal alun kami mengikuti jalur angin melipir ke sebelah kiri menuju timur laut, arah jam sebelas dari hadapan kami. Kami terus berjalan dan berjalan hingga bertemu sebuah jalur air, atau sungai kecil yang kering, di jalur itu jalan pecah menjadi dua, padahal lokasi tersebut tempat yang terbuka dan tidak terlalu menyulitkan kami untuk memilih jalan. Tetapi, Hidup adalah sebuah pilihan. Kita sendiri yang akan menentukanya....... go a head
Setelah cukup puas berdebat masalah lagu isabella dan berfoto ria dengan bunga abadi, kami beranjak dari nyamanya duduk kami dan memulai perjalanan untuk menuju lokasi selanjutnya, yaitu adalah “Mati Hutan” saya menyebutnya demikian, dari tegal alun kami mengikuti jalur angin melipir ke sebelah kiri menuju timur laut, arah jam sebelas dari hadapan kami. Kami terus berjalan dan berjalan hingga bertemu sebuah jalur air, atau sungai kecil yang kering, di jalur itu jalan pecah menjadi dua, padahal lokasi tersebut tempat yang terbuka dan tidak terlalu menyulitkan kami untuk memilih jalan. Tetapi, Hidup adalah sebuah pilihan. Kita sendiri yang akan menentukanya....... go a head
(“Lost after Tegal Alun” (11:00)
Siang yang sangat terik, serta suhu udara
mulai meningkat, kami masih menyusuri jalan turun memasuki kawasan hutan, berjalan
sekitar lima belas menit dari persimpangan sungai kering tadi. Mas bibit
berjalan paling depan memimpin kami, di ikuti oleh novi, dudu dan kak ines,
sedangkan di belakang ada saya, teh syifa dan erna. Pijak demi pijak kami
menginjak jalur yang mulai menyempit, langkah demi langkah kami melompat dengan
pasti, hingga kami menemukan sebuah aliran sungai yang di aliri oleh air yang
bersih, jernih dan menenangkan. Kami singgah sejenak untuk sekedar mencuci kaki
dan bermain air sejenak.
Setelah beberapa menit kami beristirahat, kami kembali melanjutkan perjalanan, kali ini jalan mulai sedikit menanjak dan mulai tercium bau belerang, karena angin dari kawah sedang menuju ke arah kami. Tak lama kemudian kami melihat tugu, entah tugu apa namanya saya tidak terlalu memperhatikan, lokasi tugu tersebut di padang rumput liar yang cukup tinggi, di samping tebing yang curam. Kami terus melanjutkan perjalanan, dari hadapan muka kami sudah terlihat pohon-pohon yang kering kerontang tak berdaun, dan dahan-dahan tersebut berwarna hitam gosong serta rapuh. “Hutan Mati” pikir kami, dengan langkah mulai cepat kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju pohon-pohon rapuh tersebut, setelah sampai di jalanan yang menurun sangat terjal, terlihatlah pohon-pohon mati tersebut. Entah apa yang teman-teman saya pikirkan saat melihat pemandangan yang aneh ini, mungkin mereka berpikir, kok beda dengan gambar yang di internet ataupun media sosial seperti yang pernah mereka lihat, jika sekilas saya perhatikan memang beda dengan apa yang pernah saya lihat di foto teman saya yang kala itu pernah pergi ke papandayan. Tapi ya sudahlah pikir saya, toh teman-teman yang di sekitarku saat ini juga biasa saja menanggapinya, makanya saya juga berusaha untuk yakin jika ini memang benar hutan mati yang biasa di singgahi oleh para pendaki umumnya.
Setelah beberapa menit kami beristirahat, kami kembali melanjutkan perjalanan, kali ini jalan mulai sedikit menanjak dan mulai tercium bau belerang, karena angin dari kawah sedang menuju ke arah kami. Tak lama kemudian kami melihat tugu, entah tugu apa namanya saya tidak terlalu memperhatikan, lokasi tugu tersebut di padang rumput liar yang cukup tinggi, di samping tebing yang curam. Kami terus melanjutkan perjalanan, dari hadapan muka kami sudah terlihat pohon-pohon yang kering kerontang tak berdaun, dan dahan-dahan tersebut berwarna hitam gosong serta rapuh. “Hutan Mati” pikir kami, dengan langkah mulai cepat kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju pohon-pohon rapuh tersebut, setelah sampai di jalanan yang menurun sangat terjal, terlihatlah pohon-pohon mati tersebut. Entah apa yang teman-teman saya pikirkan saat melihat pemandangan yang aneh ini, mungkin mereka berpikir, kok beda dengan gambar yang di internet ataupun media sosial seperti yang pernah mereka lihat, jika sekilas saya perhatikan memang beda dengan apa yang pernah saya lihat di foto teman saya yang kala itu pernah pergi ke papandayan. Tapi ya sudahlah pikir saya, toh teman-teman yang di sekitarku saat ini juga biasa saja menanggapinya, makanya saya juga berusaha untuk yakin jika ini memang benar hutan mati yang biasa di singgahi oleh para pendaki umumnya.
Dengan semangat, kami mulai melanjutkan kembali
perjalanan setelah beristirahat sejenak untuk mengamati keadaan sekitar, dengan
jalan perlahan kami mulai menurun, depan kami di suguhkan jalan setapak dengan
track pasir yang licin, serta minim akar, kayu atau batu untuk peganggan kami
agar selalu dapat menyeimbangkan badan. Dengan penuh hati-hati kami turun dari
satu turunan yang cukup licin, ke turunan yang licin lainya, tak jarang kami
terpeleset dan hilang keseimbangan. Saya sempat khawatir dengan team saya ini,
karena tadi pagi tidak ada yang melaksanakan ibadah sahur karena kesiangan, dan
sekarang harus menakhlukan track yang licin, panas, serta bau belerang yang
memusingkan kepala, apalagi dari kejauhan sudah terlihat track kami selanjutnya
adalah track batu yang kering kerontang dan siap melukai kaki, karena batu
tersebut lumayan tajam-tajam, dan team kami mayoritas perempuan pula.
Dengan sabar, niat, serta tekad yang kuat kami terus melanjutkan perjalanan selanjutnya, yaitu padang batu yang panas dan luas itu, inilah kesabaran dan tenaga kami benar-benar di uji, mas bibit, kak ines, novi dan dudu sudah terlampau jauh meninggalkan kami bertiga, teh syifa dengan sabarnya memandu erna yang sedikit takut jika bertemu dengan jalan yang menurun, padahal yang phobia ketinggian adalah novi, tapi kenapa malah erna yang cukup takut jika beretemu jalan yang menurun? Itu masih menjadi misteri Ilahi yang belum dapat terpecahkan sampai saat ini he he he, tapi jujur saya melihat erna jika di pinggir tebing lebih berani daripada bertemu jalanan menurun, inilah kelebihan dari cewek yang satu ini. Go erna semangat.
Dengan sedikit demi sedikit melangkah saya bertiga mencoba mulai mempercepat gerakan langkah, tak begitu lama menurun, semakin terjal saja batu yang kami pijaki, dan tanpa sengaja erna menginjak batu yang tajam, sehingga membuat lecet di area ibu jari kakinya. “Aduh” jeritnya, sembari melihat ibu jari kakinya, “kenapa na?” tanya teh syifa, sambil mulai mendekat dan memeriksa kaki erna, “ini teh, keserempet batu” sahutnya, lalu teh syifa memanggilku dan meminta tolong untuk mengambilkan P3K di dalam daypack yang sedang saya kenakan. “wan, ada alkohol ngak?” tanya teh syifa, “waduh ngak ada teh, ini adanya obat merah sama perekat luka” jawabku (disini saya menggunakan nama perekat luka, karena sesungguhnya saat kami berbicara menyebutkan merek) “owh, yaudah perekat lukanya” seru teh syifa sambil menerima kantong P3K dariku. Teh syifa dengan telitinya menempelkan perekat luka ke ibu jari kaki erna, “ini buat sementara aja ya, nanti setelah di tempat camp atau di basecamp di lepas” peringat teh syifa kepada erna “iya teh” sahut erna sambil mengelus ibu jari kakinya.
tak hanya panas oleh terik matahari, tetapi kami juga tersiksa oleh track batu tersebut. |
Dengan sabar, niat, serta tekad yang kuat kami terus melanjutkan perjalanan selanjutnya, yaitu padang batu yang panas dan luas itu, inilah kesabaran dan tenaga kami benar-benar di uji, mas bibit, kak ines, novi dan dudu sudah terlampau jauh meninggalkan kami bertiga, teh syifa dengan sabarnya memandu erna yang sedikit takut jika bertemu dengan jalan yang menurun, padahal yang phobia ketinggian adalah novi, tapi kenapa malah erna yang cukup takut jika beretemu jalan yang menurun? Itu masih menjadi misteri Ilahi yang belum dapat terpecahkan sampai saat ini he he he, tapi jujur saya melihat erna jika di pinggir tebing lebih berani daripada bertemu jalanan menurun, inilah kelebihan dari cewek yang satu ini. Go erna semangat.
Dengan sedikit demi sedikit melangkah saya bertiga mencoba mulai mempercepat gerakan langkah, tak begitu lama menurun, semakin terjal saja batu yang kami pijaki, dan tanpa sengaja erna menginjak batu yang tajam, sehingga membuat lecet di area ibu jari kakinya. “Aduh” jeritnya, sembari melihat ibu jari kakinya, “kenapa na?” tanya teh syifa, sambil mulai mendekat dan memeriksa kaki erna, “ini teh, keserempet batu” sahutnya, lalu teh syifa memanggilku dan meminta tolong untuk mengambilkan P3K di dalam daypack yang sedang saya kenakan. “wan, ada alkohol ngak?” tanya teh syifa, “waduh ngak ada teh, ini adanya obat merah sama perekat luka” jawabku (disini saya menggunakan nama perekat luka, karena sesungguhnya saat kami berbicara menyebutkan merek) “owh, yaudah perekat lukanya” seru teh syifa sambil menerima kantong P3K dariku. Teh syifa dengan telitinya menempelkan perekat luka ke ibu jari kaki erna, “ini buat sementara aja ya, nanti setelah di tempat camp atau di basecamp di lepas” peringat teh syifa kepada erna “iya teh” sahut erna sambil mengelus ibu jari kakinya.
Setelah saya berkemas kembali, kami bertiga
mulai melanjutkan perjalanan, kali ini langkah kami buat sedikit lebih santai,
untuk mengimbangi langkah kaki erna yang habis terkena batu. Setelah beberapa
menit kami melangkah kami menemukan sungai yang airnya berwarna merah karena
banyak lumut yang menempel di batu sungai tersebut, kami menyeberanginya dengan
cukup berhati-hati. lalu berjalan sedikit mendaki dan menurun kembali, tak lama
lagi bertemu sebuah sungai kecil yang mengeluarkan asap dan hawa panas, air
tersebut mengalir ke kawah papandayan, kami menyeberanginya dengan sangat hati-hati
karena airnya lumayan panas jika tersentuh langsung dengan kulit. Saya melihat
ke atas bukit untuk mencari mas bibit yang ternyata sudah lenyap tak terlihat,
dimana-mana saya hanya melihat fatamorgana, tak terlihat satu orang pun manusia
kecuali kami bertiga di gurun batu tersebut. Dan tak lama setelah kami mulai
berjalan mendaki untuk menggapai bukit tersebut mas bibit muncul dari atas
bukit, memberi peringatan jika posisi mereka sudah di atas dan beristirahat,
lalu kami bertiga bergegas naik menuju mereka. sampailah kami kembali ke
buneran *titik awal pendakian seperti semula. Di buneran mas bibit, novi, dudu
dan kak ines sudah beristirahat di bawah pohon, kami bertiga menyusul dan duduk
bergabung dengan mereka.
(“Menguak misteri dari kesalahan kami” (14:00)
Setelah duduk beristirahat sejenak, saya dan
mas bibit berbincang-bincang masalah jalan yang baru saja kami lalui, kami
masih binggung dengan jalur yang sesungguhnya sebenarnya berada dimana, karena
hutan mati yang baru saja kami kunjungi tadi sebenarnya bukanlah hutan mati
sesunggunhnya, entahlah itu namanya apa.
Bahkan cewek-cewek yang lainya ikut angkat bicara, merasakan hutan
tersebut bukanlah hutan mati seperti biasanya. Kami semua hanya saling menatap
dan binggung dengan apa yang telah kami jalani, sampai pindah topik pembicaraan
kami belum menemukan jawaban dari perbedaan jalur yang kami lalui tadi, karena
hari sudah mulai sore kami bergegas melanjutkan perjalanan kembali menuju
tempat camp kami di pondok saladah, rencana kami ada dua opsi/pilihan, jika ke
sorean, kita berencana kembali ngecamp satu malam di pondok saladah. atau tetap
turun walaupun malam hari, dan nanti menginap satu malam di basecamp/camp
david. Itu semua tergantung kondisi kami, faktor lelah dan cukup jauhnya jarak
tempuh akan menjadi tantangan selanjutnya. Alhamdulillah berkat niat yang kuat
serta izin Allah SWT. Di antara kami belum ada yang membatalkan puasa seorang
pun, kami tetap mensyukuri nikmat iman yang di berikan Allah pada kami saat itu,
walaupun pagi tidak sahur tetapi kami semua masih kuat untuk terus bergerak dan
berjalan.
Dengan sisa tenaga dan lelah yang terus menghantui kami, kami terus bergerak agar tidak kesorean, hingga sampai kurang lebih dua km lagi dari lawang angin, kami berpisah-pisah. Dudu dan kak ines terus memacu kekuatanya berjalan lebih dulu dari kami, sedangkan novi, erna dan teh syifa berjalan tepat di depan saya dan mas bibit. Saya dan mas bibit berhenti sejenak, sedangkan novi, erna dan teh syifa terus berjalan melanjutkan perjalanan. Saya dan mas bibit masih sama membicarakan topik tentang jalur yang kami lalui, karena itu sangat membuat saya dan mas bibit penasaran tingkat dewa. Saya dan mas bibit duduk bersandar batu dan terus mengawasi tebing dan jalur longsor yang berada tepat di depan kami berdua, dengan terus mengkira-kira. Setelah sekitar lima belas menit saya dan mas bibit dudu bersandar, mulailah kami beranjak dari tempat duduk yang nyaman tadi, dan melanjutkan perjalanan dengan hati yang masih bertanya-tanya. Kami berdua berjalan cukup cepat untuk mengejar teh syifa dkk. Kami berpikir, jika mereka mungkin masih menunggu kami berdua di lawang angin, setelah sampai lawang angin kami tidak bertemu mereka, mungkin kami telah tertinggal sangat jauh dengan mereka. Di lawang angin kami berdua duduk sebentar dan memperhatikan suasana di sekitarnya, disana hanya ada dua orang bapak yang sedang mencari rumput dengan motor trailnya yang di parkirkan di pinggir tebing. Setelah sejenak kami duduk kami langsung melangkah kembali menuju pondok saladah, hari semakin sore, yang kami takutkan jika kami turun terlalu malam akan bahaya saat di kawah papandayanya, karena di sana akan banyak asap dan dapat menyesatkan arah kami untuk menuju basecamp/camp david.
Dengan sisa tenaga dan lelah yang terus menghantui kami, kami terus bergerak agar tidak kesorean, hingga sampai kurang lebih dua km lagi dari lawang angin, kami berpisah-pisah. Dudu dan kak ines terus memacu kekuatanya berjalan lebih dulu dari kami, sedangkan novi, erna dan teh syifa berjalan tepat di depan saya dan mas bibit. Saya dan mas bibit berhenti sejenak, sedangkan novi, erna dan teh syifa terus berjalan melanjutkan perjalanan. Saya dan mas bibit masih sama membicarakan topik tentang jalur yang kami lalui, karena itu sangat membuat saya dan mas bibit penasaran tingkat dewa. Saya dan mas bibit duduk bersandar batu dan terus mengawasi tebing dan jalur longsor yang berada tepat di depan kami berdua, dengan terus mengkira-kira. Setelah sekitar lima belas menit saya dan mas bibit dudu bersandar, mulailah kami beranjak dari tempat duduk yang nyaman tadi, dan melanjutkan perjalanan dengan hati yang masih bertanya-tanya. Kami berdua berjalan cukup cepat untuk mengejar teh syifa dkk. Kami berpikir, jika mereka mungkin masih menunggu kami berdua di lawang angin, setelah sampai lawang angin kami tidak bertemu mereka, mungkin kami telah tertinggal sangat jauh dengan mereka. Di lawang angin kami berdua duduk sebentar dan memperhatikan suasana di sekitarnya, disana hanya ada dua orang bapak yang sedang mencari rumput dengan motor trailnya yang di parkirkan di pinggir tebing. Setelah sejenak kami duduk kami langsung melangkah kembali menuju pondok saladah, hari semakin sore, yang kami takutkan jika kami turun terlalu malam akan bahaya saat di kawah papandayanya, karena di sana akan banyak asap dan dapat menyesatkan arah kami untuk menuju basecamp/camp david.
Mas bibit berjalan lebih dahulu dari saya,
setiap berpapasan dengan para pendaki yang turun gunung saya selalu berhenti
mengalah menepi dari jalur, karena jalur menuju pondok saladah cukup cekung
dengan jalur airnya yang lumayan sempit. Saya berpikir mas bibit telah sampai di
pondok saladah karena sedari tadi saya melihat ke depan sudah tak ada
tanda-tanda seseorang yang berjalan disana, saya mulai mempercepat langkah,
hingga sebelum sampai pondok saladah saya bertemu mas bibit berdiri di samping
tebing, tempat dimana saya dan teman-teman semua tadi pagi menyambut sunrise di
tempat tersebut. Saya melihat mas bibit sedang fokus memperhatikan jalur dari
bukit berwarna putih di seberang jurang tersebut, lalu setelah melihat saya dia
bertanya “bukanya itu hutan mati ya?” tanganya menunjuk ke sebuah bukit
berwarna putih. Saya yang langsung ikut memperhatikan dengan seksama ikut
terkaget “o, iyo mas, kae ngenah hutan mati” hutan mati sesungguhnya jawabku,
“waduh bener salah iki, kae sing ngenah ning kono” yang benar disana hutan matinya
timpa mas bibit sambil menunjukan peta jalur pendakian papandayan kepadaku.
Saya berdua saling tertawa cengengesan setelah mengetahui hutan mati
sesungguhnya adalah disana, pantesan beda sama biasa yang di tv-tv hutan
matinya batinku. Sebenarnya kami itu tidak salah jalan, melainkan melewati
jalur explorer atau jalur melebar menyisiri samping tebing puncak dan berjalan
melalui jalur kawah lalu kembali lagi ke buneran, saya dan mas bibit cukup lama
di tebing tersebut, menyocokan gambar peta dengan jalur yang sesungguhnya,
ternyata semua benar, hanya kita yang cukup jauh melebar dari jalur yang
seharusnya lebih cepat di jangkau. Rasa penasaran saya dan mas bibit tidak
berakhir sampai di situ saja, saya berdua harus tetap melewati hutan mati
tersebut saat perjalanan pulang nanti, untuk mengetahui jalur yang lebih
jelasnya, tidak hanya melihat di atas sebuah kertas peta saja.
Kami berdua langsung bergegas menuju pondok
saladah, disana kami temui para perempuan sedang packing-packing bersiap untuk
turun, saya dan mas bibit memberi tahu mereka, jika hutan mati sesungguhnya
tidak terlalu jauh dari pondok saladah ini. Dengan sedikit terkejut khas mereka
masing-masing, mereka memperhatikan bukit putih tersebut, lalu saya bertanya
pada mereka “ada yang neyesel ngak kita salah pilih jalan, sampai melewati
padang batu yang panas tadi?” tanyaku. Jawaban mereka berbeda-beda, tetapi yang
jelas tidak ada yang menyesal sama sekali, WOW benar-benar The strong women mereka
semua, seneng banget mendaki bersama mereka, yang biasanya saya mendaki dengan
perempuan yang lemah dan terkadang sampai sakit, kali ini bagaikan mendaki
bersama senior semua he he he semoga bisa mendaki bareng lagi. Memang mendaki gunung papandayan itu anak umur 7
tahun juga kuat jalan kaki sampai pondok saladah, bahkan puncak malahan, tapi
yang kami alami saat itu benar-benar explorer, expedition, and adventure
*lebay, kami lalui semua kawasan papandayan dengan tetap melaksanakan ibadah
puasa kecuali tegal panjang, karena kami saat menuju kesana malah kesasar ke
pangalengan dan puncak. Kami sepakat, “puncak bukanlah segalanya, tetapi
segalanya ada di puncak” kami tidak ke puncak karena sebenarnya ingin
mempersingkat waktu, tetapi Allah menakdirkan lain kepada kami, yaitu malah
menjelajah kawasan papandayan yang jarang di lalui orang hi hi hi.
Matahari sore semakin condong ke arah barat
dan perlahan mulai tertutup di balik bukit pondok saladah ini, setelah kami
berbincang-bincang, mulai bergantian mandi satu persatu dan melaksanakan ibadah
ashar, setelah itu kami packing bersama lalu membongkar tenda dan siap
perjalanan turun melewati hutan mati original he he he, waktu sudah menunjukan
pukul 16:30 di pondok saladah ini hanya tinggal team kami yang paling terakhir,
karena tetangga kami / para pendaki lainya sudah turun sejak siang tadi, jadi
kami adalah “Team terakhir” seperti nama judul film “Pencarian terakhir”
ngehehehe. Kami berkumpul membuat lingkaran dan berdo’a kembali agar di beri
kemudahan saat turun nanti, setelah berdo’a selesai kaki kami bertumpukan di
depan lingkaran leader kami berteriak
“Ganesha.........” lalu kami balas “Tamasya............” inilah ritual
penyemangat kami biar kaya orang-orang kekekek. Setelah itu kami berjalan
membuat barisan satu banjar ke belakang seperti formasi sebelumnya, dengan
riang gembira di perjalanan mereka bernyanyi “ayo lihat semua, kapten kita
datang, dari penjuru kota.............” dan seterusnya, sepertinya tidak asing
di telinga lagu tersebut, lagu apa ya? Yup, benar jika anda menebak “Tsubatsa”
ngahahaha. Itu di nyanyikan mereka pada saat itu, ngak apa-apalah daripada mas
bibit nyanyi “Bila aku....” “harus mencintai, dan berbagi hati.....” gitu
terus, mending ganti haluan he he he.
Tak begitu lama kami berjalan kami sudah
melewati batas vegetasi dan memasuki hutan mati, ini dia hutan mati
sesungguhnya....., kami berhenti-henti untuk mempotret view keren tersebut.
Setelah dirasa cukup untuk mengambil gambar kami mulai melanjutkan perjalanan,
kali ini jalan mulai menurun dan meninggalkan hutan mati, setelah kurang lebih
lima belas menit kami meninggalkan hutan mati teh syifa dan erna memberi
peringatan pada kami bahwa waktu berbuka telah tiba, kami semua langsung duduk
dan minum sebotol air mineral bergantian. Subhanallah nikmatnya berbuka puasa
setelah seharian berjalan tanpa henti di bawah terik sinar matahari, walaupun
hanya minum tetapi nikmatnya tak terhingga he he he, baru saja duduk, kami
harus paksakan diri untuk terus melanjutkan perjalanan, karena jika sudah
terlalu gelap dan kita belum melewati kawah, akan sangat berbahaya, jalur akan terlihat menjadi putih berbatuan
dan sulit melihat jalur benar yang sesungguhnya. Kami bergegas dengan cepat,
sehingga formasi kami terpecah menjadi dua seperti tadi siang, tetapi kali ini
di tambah satu orang, yaitu seorang bapak penjaga pondok saladah yang turun
bersama kami, beruntung ada bapak tersebut jadi kami tidak perlu khawatir salah
jalan. Bapak tersebut sepertinya berjalan di paling depan yang di ikuti oleh
dudu, novi, kak ines dan mas bibit, sedangkan erna teh syifa dan saya
tertinggal paling belakang.
Teh syifa dengan sabarnya masih menuntun erna seperti tadi siang, saya di paling belakang sesekali mengajak ngobrol teh syifa agar terdengar ramai atau bernyanyi sendiri agar tidak sepi, papandayan memang gunung yang lumayan terbuka, apalagi setelah sampai kawah dan turun ke bawah, tetapi tetap saja menjadi sweaper/ pendaki yang berjalan paling belakang harus selalu terkoneksi dengan depanya, setidaknya mengajak ngobrol walaupun obrolan tersebut tidak terlalu penting, terlebih di malam hari yang gelap dan sepi seperti ini. Karena biasanya senyaman-nyamanya orang yang berjalan di paling belakang, pasti akan ada rasa yang menganjal, seperti merasakan ada yang mengikuti (itu yang paling umum), di perhatikan oleh sekitar atau bahkan melihat jelas wujud sesuatu penunggu tempat tersebut (itu biasanya yang paling sial), seperti contoh di gunung merbabu dari sabana satu ke basecamp atau sebaliknya, mitosnya ada sosok perempuan yang konon hilang di sana dan sampai sekarang tidak di temukan dimana rimbanya, sehingga sering para pendaki yang pernah merasakan hal tersebut mengingatkan pada yang lain saat night adventure, untuk tidak mengarahkan cahaya senter/headlamp ke arah hal yang tidak perlu, kecuali jalur ke depan yang akan di laluinya.
Teh syifa dengan sabarnya masih menuntun erna seperti tadi siang, saya di paling belakang sesekali mengajak ngobrol teh syifa agar terdengar ramai atau bernyanyi sendiri agar tidak sepi, papandayan memang gunung yang lumayan terbuka, apalagi setelah sampai kawah dan turun ke bawah, tetapi tetap saja menjadi sweaper/ pendaki yang berjalan paling belakang harus selalu terkoneksi dengan depanya, setidaknya mengajak ngobrol walaupun obrolan tersebut tidak terlalu penting, terlebih di malam hari yang gelap dan sepi seperti ini. Karena biasanya senyaman-nyamanya orang yang berjalan di paling belakang, pasti akan ada rasa yang menganjal, seperti merasakan ada yang mengikuti (itu yang paling umum), di perhatikan oleh sekitar atau bahkan melihat jelas wujud sesuatu penunggu tempat tersebut (itu biasanya yang paling sial), seperti contoh di gunung merbabu dari sabana satu ke basecamp atau sebaliknya, mitosnya ada sosok perempuan yang konon hilang di sana dan sampai sekarang tidak di temukan dimana rimbanya, sehingga sering para pendaki yang pernah merasakan hal tersebut mengingatkan pada yang lain saat night adventure, untuk tidak mengarahkan cahaya senter/headlamp ke arah hal yang tidak perlu, kecuali jalur ke depan yang akan di laluinya.
Jika perjalanan malam/nightventure saran saya untuk tetap terkoneksi/mengobrol
dengan teman di depanya untuk si sweaper, jangan sampai pikiran kosong atau
bahkan melamun, jangan sampai sepi senyap atau tanpa ada suara sama sekali,
usahakan mendengarkan musik dengan suara sedang, jangan terlalu keras dan
jangan terlalu pelan, jika tidak ada musik/habis battery selalu berdzikir menginggat
Allah bagi yang muslim. (sumber: pengalaman pribadi saat turun merbabu, di
tambah sharing-sharing dengan orang basecamp “merbabu nightventure”)
(“Basecamp/camp david” (19:00)
Tak terasa kami sudah sampai basecamp/camp
david, kami langsung menuju warung tempat dimana pertama kali datang kami
singgah disana, carrier mulai di turunkan dari pundak, kaki di luruskan agar tidak
terjadi kram/otot tegang, dan mulai memesan minuman dengan selera
masing-masing, saya dan teh syifa sedari tadi dalam perjalanan turun
membicarakan tentang segarnya minuman bersoda he he he, hingga akhirnya
kesampaian juga meneguk minuman bersoda di basecamp bersama. Setelah melepas
lelah, bersama merasakan lapar karena memang saat sahur tadi pagi salah satu
dari kami tidak ada yang makan sama sekali dan saat berbuka puasa hanya meminum
beberapa teguk air mineral bersama-sama, yang pasti di pikiran kami semua
membutuhkan nasi untuk asupan makanan yang mengenyangkan perut, kami langsung
memesan nasi goreng kepada ibu warung “nasi gorengnya habis” jawab si ibu
warung, muka kami langsung layu semua bagaikan sawi di pinggir sawah yang di
landa musim kemarau, “terus yang ada tinggal apa bu?” tanya salah satu dari
kami “tinggal mie rebus” jawabnya kembali. Yowis daripada ndak makan sama
sekali kita memesan mie rebus tersebut, dengan selera masing-masing ada yang
pedas menggunakan cengek/cabe ada
pula yang biasa, “semua pake telor ya, biar ada gizinya” pinta teh syifa pada
kami semua, kami semua mengangguk mengiyakan. Setelah makan bersama kami
mencari tempat untuk beristirahat malam ini, karena mobil pick up yang akan
membawa turun kami sudah tidak ada. Bapak penunggu basecamp menawarkan pada
kami untuk tidur di pos tempat pendaftaran, dengan senang kami menerima tawaran
bapak tersebut lalu kami langsung membawa barang-barang kami kesana, di
lanjutkan shalat maghrib, isya dan tarawih di dalam pos tersebut.
Setelah ba’da shalat saya, teh syifa, kak
ines, erna dan mas bibit cerita-cerita, sedangkan dudu dan novi tidur lebih
dulu, biasanya jika setelah melaksanakan pendakian, secara umum akan bercerita
tentang pengalaman yang di alami saat di atas tadi, atau pengalaman saat
mendaki gunung lainya yang berbau horor ho ho ho, tetapi berhubung tetehku yang
satu ini teh syifa dan erna kalau kami sedang bercerita dia berdua selalu tutup
telinga, padahal bukan cerita serem, cuman ngagetin aja ngeheheh, lalu kami
merubah dengan bercerita tentang pengalaman hidup masing-masing, sampai kantuk
melanda kami ber empat, kenapa jadi ber empat padahal tadi awalnya yang cerita
ber lima? Karena erna telah gugur terlebih dahulu di pangkuan teh syifa,
mungkin dia angkap kami sedang mendongeng.
Day 4 (03:00)
Alarm mulai berdering pertanda kami harus
bangun untuk melaksanakan ibadah sahur, saya membuka mata dan melihat teh syifa
sudah duduk mencoba membangunkan yang lain, walaupun sudah di dalam ruangan
sekalipun tetapi dingin tetap sama seperti saat ngecamp di atas, saya tidak
dapat membayangkan seberapa dinginya teh syifa yang sejak awal tidur tidak
menggunakan sleeping bag, dia hanya menggunakan jaket dan mukenanya untuk tidur
karena memang sejak awal teh syifa tidak membawanya karena di pinjamkan oleh
rekanya dan belum di kembalikan. kami semua langsung membuka snack yang tersisa
untuk sahur, kami tidak bisa menemukan sesuatu yang hangat karena keadaan kami
cukup darurat, warung ibu yang tempat kami membeli mie instan kemarin tutup
ibunya turun terlebih dahulu, teh syifa kemarin hanya belanja susu dan air
mineral saja untuk kebutuhan sahur, kompor kami rusak kemarin saja kita
meminjam kompor orang, ya sudah karena serba darurat kita gunakan apa yang ada
saja. Tak lama setelah kami menyantap snack bersama, ada seorang bapak yang
masuk membawa baki memberi air hangat kepada kami semua, Alhamdulillah ucap
kami semua, Allah selalu menolong kami saat kami benar-benar dalam kesulitan,
inilah yang di sebut berkah ramadhan, kalo kata mas bibit rejeki anak soleh he
he. Setelah sahur bersama dan di lanjutkan shalat subuh lalu kami packing
kembali bersiap untuk turun, sambil menunggu mobil pick up datang. Sekitar
pukul 06:00 mobil pick up datang dan salah satu dari kami bernegoisasi, lalu
setelah mendapatkan harga yang pas kami langsung jalan.
Always smile. |
Entahlah aku tidak dapat menjelaskan semua ini. Ngehehe |
Team ceria |
Kak ines menikmati mentari pagi. |
mas Bibit dengan gaya anehnya, aku yg salah foto ceunah kekekek |
Cisurupan. |
Setelah sampai di pertigaan cisurupan saya, novi, dudu, kak ines, teh syifa domisili bandung berpisah dengan domisili jakarta mas bibit dan erna. saya dkk. Naik mobil bis kecil yang jurusan garut-luwipanjang sedangkan mas bibit dan erna naik anggkutan umum menuju terminal guntur lalu dilanjutkan bis yang ke jakarta. Saya dkk. Berpamitan pada mas bibit dan erna lalu naik ke bis dan berangkat lebih dulu dari mereka, perjalanan kami menempuh selama dua jam lebih perjalanan hingga sampai di terminal luwi panjang dan kami lanjutkan dengan naik damri menuju dipati ukur.
kak ines, novi dan dudu turun di ITB, sedangkan saya dan teh syifa turun di unpad jl.dipati ukur.
See you Again and Next trip.
Ridwan Junior
My life My explorer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar