Petualangan saya kali ini wisata bersama sahabat, tepatnya
setelah tahun baru 2016 kemarin, dimana perjalanan kali ini menjelajahi kota
Bogor jawa barat.
Tujuan wisata kali ini bertemakan alam yaitu “Leuwi Hejo”
wisata disini adalah mandi di sungai yang mengalir dari balik bukit, letaknya
berada di Desa Cibadak Kec. Sukamakmur – Bogor Indonesia. Perjalanan kami
dimulai dari Jakarta menuju kota Bogor dengan menggunakan sepeda motor, kami
berangkat 8 orang menggunakan 4 motor berboncengan. Keberangkatan dimulai dari
kebon jeruk Jakarta barat pada pukul 5:30 WIB. Kami menyusuri Jl.Jendral Gatot
Subroto lalu melewati jl.Dewi Sartika dan jl.Raya Bogor menuju sentul.
Matahari semakin meninggi, kamipun tiba di lokasi wisata
setelah 3 jam perjalanan yang cukup menyenangkan, di sepanjang perjalanan kami
di suguhkan oleh alaminya suasana pedesaan yang asri dan penduduknya yang
sangat ramah. Sesampainya di lokasi kami memarkirkan motor, berjalan menyusuri
desa, melewati tebing dengan jalan setapak yang jalurnya sedikit menanjak
(trekking), melewati bibir sungai, lalu sampailah kami di tempat wisata
tersebut (di lereng bukit), perjalanan dari parkiran menuju lokasi wisata
berjarak sekitar 10km. Kami bergegas menganti pakaian lalu berenang. sejuk air
sungai membuat tenang pikiran, badan akan terasa segar setelah berendam,
berenang atau hanya sekedar bermain air di bibir sungai. Kami mencoba ke sungai
bagian atas, karena model sungai ini berbentuk turunan dari atas lembah, di
atas sana pula terdapat air terjun yang tinggi sekitar 8 meter. memang tidak
terlalu curam, tetapi cukup sulit untuk menuju ke atas sana karena sedikit
menyisir ke kanan menghindari aliran air dari atas. Di tempat tersebut banyak
sekali pengunjung yang naik ke atas sana,
lalu melompat untuk menguji andrenalin mereka masing-masing. Di bawah air
terjun tersebut airnya cukup dalam, saya mencoba berenang menuju kedalamanya
yang saya perkirakan kedalaman airnya mencapai 3-4 meter, di dasar air berupa
batu dan pasir. Bibir sungai diapit oleh dua tebing yang menjulang tinggi di
sebelah kiri dan kanan, sehingga jika longsor akan menutup aliran sungai ini.
Cukup lama kami berenang, waktu menunjukan pukul 11:00
siang, kami memutuskan untuk beristirahat. Kami menuju sebuah warung yang
berada di lereng bukit cukup curam, dengan tangga penghubung menuju ke atas berbentuk
kelokan-kelokan, jalan setapak tersebut cukup licin tanahnya akibat guyuran
hujan semalam, membuat kami harus extra hati-hati melewatinya. selain licin
kami juga harus antri karena jalan cukup sempit, saling gantian satu sama lain,
membuat kami menunggu dan bersabar menghormati satu sama lain dengan sesama
penggunjung.
Akhirnya kami sampai juga di warung pertama, karena ke atas
sana saya perhatikan masih banyak warung-warung yang berdampingan lebih dari
satu. Kami duduk dan beristirahat, ada yang membawa bekal makanan dari rumah,
ada pula yang memesan bakso di warung tersebut dsb. Saya dan adik saya Dikky
memesan bakso. Tio memesan kopi di warung, Andre dan mas Bahrul makan bersama
di atas kertas nasi bekalnya, mas Iyan dan mbak Ade dengan romantisnya makan
bakso satu piring berdua, sedangkan Sutriz sibuk menghisap tembakau kering yang
ada di tanganya. itulah team kami, sahabat, teman saya, dari saya masih kecil
hingga saat ini kami beranjak dewasa.
Setelah beristirahat lebih dari 60 menit kami memutuskan
untuk turun kembali ke bawah menuju sungai untuk kembali berenang, cuaca hari
ini sangat cerah dan cukup panas sehingga gairah untuk berenang semakin
bertambah, terlebih perpaduan antara udara segar pegununggan di tambah dinginya
air lembah dan cuaca yang panas membuat kami semakin betah di dalam air, my
country like heaven! Ber jam-jam kami berenang bersama, bercanda, tertawa,
melepas semua penat dan stress yang menghinggapi kami semua, melepas rindu
bersama sahabat, dimana dahulu berangkat sekolah bersama, bermain bersama, di
marahin juga bersama-sama, tak disangka sekarang sudah beranjak dewasa semua,
terpisah karena mengejar impian/cita-cita masing-masing. tentunya masih dapat
bersama seperti saat ini, walaupun hanya sementara dan begitu cepat, tetapi
sangat berkesan dapat kembali main bersama seperti saat ini.
***
Tak terasa waktu menunjukan pukul 14:00. Awan yang sangat cerah,
berubah menjadi mendung tebal, saya memperhatikan sejak tadi pengunjung semakin
ramai dan banyak sekali yang baru datang, padahal hari semakin sore. Sutriz, Andre
dan Tio sudah menepi dari sungai terlebih dahulu, hanya sisa saya, Dikky mas
Bahrul, mas Iyan dan mbak Ade, yang masih di tengah sungai. Setelah melihat
mendung yang semakin gelap dan hari semakin sore kami semua memutuskan untuk
membilas badan, berganti baju lalu bergegas pulang. Sutriz, Andre, mas Bahrul
dan mbak Ade, berbilas terlebih dahulu, karena tempat pembilasan sangat penuh
dan antre oleh pengunjung, sedangkan sisa dari kami menunggu tas di bibir
sungai. Lama kami menunggu di pinggir sungai, hari semakin sore dan antrian
semakin panjang, kurang lebih setengah jam kemudian mereka kembali dan kami pun
bergegas untuk bergantian, saya, Dikky, mas Iyan dan Tio pun buru-buru bergegas
mencari antrian yang pendek agar segera mengganti baju. Tak begitu lama giliran
saya dan Dikky masuk ke ruang ganti hujan pun turun dengan derasnya, mendung
begitu gelap dan petir bersahutan menandai awal turun hujan yang sangat lebat.
setelah selesai, saya dan Dikky menunggu di depan ruang
ganti baju tersebut, berharap hujan segera reda. Saya memandang sekitar mencari
Tio dan mas Iyan, yang ternyata pergi terlebih dahulu membantu teman-teman berada
di pinggir sungai untuk menyelamatkan tas dan barang bawaan kami ke tempat
teduh. jarak meneduh saya dan Dikky dengan mas iyan dengan kawan-kawan hanya 50
meter. posisi saya berada di atas (tempat bilas dan ganti baju) sedangkan mas Iyan
dkk. Berada di bawah dekat dengan sungai (berteduh di bangunan yang terbuat
dari seng). Saat itu tempat berteduh sangat terbatas, hanya ada beberapa
warung, bangunan dari seng dan tempat bilas, sehingga orang yang tidak kebagian
tempat untuk berteduh terpaksa harus melanjutkan perjalanan menuju ke parkiran.
Mungkin di dalam benak mereka mengatakan, “terlanjur basah mengapa harus berteduh”?
sedangkan alasan kami berteduh karena habis mengganti baju, selain itu jalur
menuju tempat parkiran memang sangat licin dan cukup rawan longsor, terlebih
jika hujan turun dengan sederas ini, tak dapat di bayangkan akan seperti apa
jalan setapak tersebut.
1 jam, kami menunggu hujan tak kunjung reda, mas Iyan dkk.
Yang berada di bawah saya memberi kode tangan untuk segera turun mengikuti
mereka, sayangnya yang melihat tanda tangan tersebut adik saya Dikky, sedangkan
saya sedang membereskan baju basah. Dikky mengatakan “mas aku tadi kayaknya
liat mas Iyan ngasih kode nyuruh turun deh, tapi mas Iyan apa bukan ya, takut
salah liat?” tanyanya dengan sikap labil. Saya sedikit binggung memberi
keputusan untuk menyusul turun atau tidak, jika saya dan Dikky turun yang saya
takutkan orang tersebut bukan mas Iyan. tetapi jika memang benar tadi mas Iiyan
yang memberi kode, kami berdua akan tertinggal oleh rombongan kami. Dalam diri
saya bukan takut tertinggal oleh mereka, tetapi jika mereka sudah duluan dan
menunggu di parkiran sedangkan saya dan Dikky masih meneduh dan menunggu, akan
terjadi saling tunggu menunggu. Kami berdua menunggu dalam keadaan kering,
sedangkan mereka dalam keadaan basah kuyup menunggu kami berdua.
Hingga akhirnya saya memutuskan turun dengan adik saya, kami
menerabas hujan, turun beberapa langah dan menyeberangi sebuah parit (aliran
sungai kecil dari atas bukit yang bermuara di sungai besar di bawah). jembatan
parit tersebut hanya terbuat dari beberapa batang bambu, lalu tak jauh dari
jembatan itu kami bertemu warung cukup besar dan di isi oleh beberapa orang
untuk berteduh, saya memperhatikan dengan seksama ke dalam warung tersebut
berharap mas Iyan dkk. Berada di dalam.
Ada secercah harapan setelah saya melihat Tio sedang asik berbincang
dengan seseorang, rupanya tio mengobrol dengan rekan sesama Go-J*k yang baru dikenalnya.
Lalu rekanya pergi melanjutkan perjalanan turun menuju parkiran.
“yo, mas iyan sama yang lainya mana?” tanyaku pada Tio,
“tadi kayaknya udah duluan wan” sahutnya dengan nada kebinggungan. “gimana sih
yo, kok malah misah dari mereka, padahal tadi barengan” seruku “ soalnya gw
ngobrol sama temen gw tadi wan,” jawab tio kembali, waduh kalo udah kepisah
gini bakal agak sulit jadinya batinku. Saya membuka handphone dan menanyakan
keberadaan mas Iyan dkk. Tetapi tak ada balasan dari mereka, hampir setengah
jam kami bertiga saya, Dikky dan Tio menanti kepastian di warung tersebut. Hingga
akhirnya munculah kekhawatiranku setelah melihat jembatan bambu yang saya dan Dikky
seberangi tadi hanyut terbawa derasnya air dari atas bukit, tersontak para
pengunjung yang berada di warung itu kaget dan mulai panik. dalam kepanikan ada
rasa syukur dalam hati saya, bersyukur saya dan adik saya sudah menyeberangi
jembatan tersebut sebelum runtuh, karena setelah runtuhnya jembatan tersebut
masih tersisa cukup banyak orang yang masih berada di atas sana. kemungkinan
mereka akan sulit untuk turun karena jembatan penghubung satu-satunya tersebut
telah terbawa oleh derasnya air.
Debit air semakin meninggi, sungai banjir sejak beberapa jam
yang lalu, hujan semakin deras dan hari semakin gelap, saya, Dikky dan Tio
semakin cemas karena terpisah dengan rombongan. saya mencoba untuk tidak larut
mengikuti keadaan, karena semakin kita panik dan cemasan maka jalan pemikiran
kita akan semakin buntu dan tidak dapat berpikir panjang dan jernih. Dengan
tenang, saya mencoba mengambil keputusan dalam suasana serba kalut ini,
pilihanya antara diam di tempat menunggu jawaban dari mereka via hanphone, atau
berjalan menerabas hujan menyinggahi setiap tempat berteduh, berharap agar
dapat bertemu mereka.
Akhirnya, saya memutuskan untuk terus berjalan, toh hujan
sangat lama untuk reda, karena saya memperhatikan awan hitam berubah menjadi
putih, yang menandakan hujan akan terjadi begitu lama bahkan kemungkinan sampai
gelap tiba. Saya menyuruh Tio dan Dikky berjalan terlebih dahulu agar mereka
tidak tertinggal di belakang, jalur yang kami lewati saat ini berputar melewati
belakang beberapa warung di bawah menuju ke atas bukit. Hingga sampai jalan
menurun melewati sebuah jembatan, kami menemukan sebuah warung yang kosong
(tidak ada orang berteduh satupun di tempat tersebut) Tio dan di Dikky berniat
berteduh di warung tersebut. tak beberapa lama mereka mendekati warung, ada
seorang pemuda memberi informasi untuk tidak berteduh di tempat tersebut,
karena mengantisipasi warung tersebut hanyut terbawa air seperti jembatan di
atas tadi. Kami bergegas meninggalkan warung tersebut dan melanjutkan perjalanan
turun. Setelah cukup lama kami berjalan, kami bertemu sebuah warung yang lebih
besar dari tempat yang kami singgahi tadi, disana banyak sekali orang yang
berteduh hingga tidak ada ruang lagi untuk orang masuk kesana, kami bertiga
memperhatikan ke dalam warung, berharap disana ada mas Iyan dkk. Tetapi nihil,
karena di dalam tidak ada satupun teman kami, hingga akhirnya kami memutuskan
untuk tetap melanjutkan perjalanan.
Jalanan mulai menurun cukup terjal, hingga kami bertiga di
suguhkan pemandangan yang kurang enak dipandang oleh mata. ada sebuah jembatan
kayu yang cukup kokoh di terjang air yang debit airnya sudah melampaui
permukaan jembatan tersebut, tetapi jembatan tersebut masih sangat kuat tak tergeser
sedikitpun (debit air tersebut berasal dari punggungan bukit di atas sana),
setelah jembatan tersebut terdapat jalan setapak melewati pinggir tebing (di
sebelah kanan) setinggi 5 meter, dan aliran sungai sangat deras (di sebelah
kiri) lalu turun sangat curam setelah
itu sedikit menanjak dari hadapan kami bertiga. tak sampai di situ, jalan
setapak turun tersebut di penuhi oleh aliran air yang deras, air tersebut berasal dari tampiasan
(aliran air menabrak jembatan lalu aliranya berpindah ke jalan setapak
tersebut). Yang sedikit menjadi persoalan kami, setelah jembatan adalah jalan
setapak tersebut turun beberapa meter lalu naik, jadi jalur yang di aliri oleh
air memang hanya sepanjang beberapa meter saja dari setelah jembatan sampai
jalan menanjak di bawah sana, tetapi derasnya air menggalir turun ke bawah lalu
belok ke kiri langsung mengarah ke sungai, kemungkinan jika terpeleset setelah
jembatan tersebut akan terperosok terbawa air dan terbanting ke kiri lalu
hanyut di telan banjir di sungai besar
sebelah kiri kami. pemandangan yang cukup menantang dari kami bertiga.
Dari atas (warung yang tadi kami singgahi) terdengar suara
sayup bersamaan dengan derasnya suara hujan, “mas, arusnya deras paling nanti
ngak akan bisa lewat” teriaknya. Tio dengan wajah sedikit ragu mengajaku untuk
kembali ke warung tersebut dan menunggu disana saja. Saya mencoba mendekati
jembatan dan memperhatikan seberapa kuat jembatan tersebut di terpa oleh derasnya
air dari atas bukit, lalu mencoba menginjak dan waspada mengantisipasi jika terjadi
hal yang tidak diinginkan. setelah saya injak-injak dan dirasa cukup aman untuk
menyeberang saya memanggil Dikky dan Tio untuk menuju ke arah dimana saya
berdiri sembari berkata “jembatanya cukup kuat, jadi jangan takut” rayuku agar
menghilangkan rasa takut yang mereka berdua rasakan. tak beberapa lama saya
berbincang dengan mereka berdua dari bawah sana terlihat sayup-sayup mas Iyan
dan mas Bahrul berjalan menuju arah kami, dengan langkah kuat melewati jalan
setapak yang di penuhi air deras akhirnya mereka sampai di atas jembatan
mendekati kami bertiga, “darimana mas kok mau balik ke atas lagi?” tanyaku
“tadi di kasih tau sama orang kalo tempat parkiran kita longsor, makanya kita
berdua turun ke bawah nylametin motor dulu” jawab mas iyan “yang lainya pada
dimana mas” tanyaku kembali “masih di atas semua, emangnya ngak ketemu?” sahut
mas Iyan. ini pasti terlewat gara-gara kami bertiga melewati belakang warung
tadi gumamku. saya perintah Tio dan Dikky untuk menyeberangi jembatan dan jalur
setapak yang di aliri air tersebut terlebih dahulu, lalu menunggu di warung
yang kosong setelah jalur air tersebut. Mereka berdua langsung bergegas
menyeberanginya dengan hati-hati, sedangkan saya, mas Iyan dan mas Bahrul
kembali ke atas untuk menjemput yang lainya. Sesampainya di atas dan bertemu
teman-teman yang lainya kamipun berkemas dan langsung kembali menuju ke bawah.
***
Sesampainya kami di jembatan tadi, kami terkejut melihat air
semakin deras, arus yang tadinya dengan skala sedang saat ini menjadi sangat
tinggi, keraguan kami untuk menyeberanginya semakin terasa. Saya mencoba
melangkah terlebih dahulu untuk memastikan kondisi aman atau tidaknya untuk di
seberangi. dengan mengondisikan jalur, saya membuat jalan lebih menempel ke
dinding tebing agar menghindari menginjak aliran air deras, dan mencari-cari
akar pohon yang kuat untuk peganggan minimal menahan badan kami satu-persatu,
lalu saya berdiri di samping derasnya air tersebut untuk menjaga mereka yang
menyeberang agar tidak terpeleset dan jatuh ke air. Setelah saya anggap cukup
aman untuk di seberangi, sayapun memberikan isyarat kepada teman-teman untuk
maju satu persatu bergantian, satu demi satu teman saya mulai menyeberang
dengan peganggan akar pohon di diding tebing dan bertumpuan pada badan saya agar
tidak terpeleset ke dalam air. Sampai tiba giliran teman saya yang terakhir,
tiba-tiba dari atas banyak sekali sekelompok orang yang turun dan ingin ikut
menyeberang, padahal sebelumnya mereka berteduh dan hanya menunggu di warung,
mungkin mereka sebelumnya sedikit takut untuk menyeberangi jembatan ini, karena
derasnya debit air yang sewaktu-waktu dapat menggulingkan jembatan, tetapi
setelah melihat kami menyeberang, mereka tertarik ingin ikut menyeberang
seperti kami. Dengan selalu bertambahnya debit air yang semakin tinggi dan
deras, saya sempat berfikir untuk segera meninggalkan jembatan tersebut, tetapi
niat tersebut saya urungkan karena ini kesempatan saya untuk dapat membantu antar
sesama, dimana mereka pastinya juga ingin selamat seperti kami dan keluarganya
menunggu di rumah. Dengan tekad kuat dan keyakinan, saya tetap berdiri di
tempat untuk membantu menahan mereka seperti apa yang saya lakukan kepada
teman-teman saya tadi. Dikky mas Bahrul dan Sutriz dengan sigap mengambil
batang pohon di dekat kami untuk menahan tanah yang saya pijaki agar tidak
tergerus oleh derasnya air. Satu persatu dari sekelompok orang tersebut
menyeberang, hingga saat tertinggal segelintir orang yang belum menyeberang,
terdengar teriakan lantang dari mas Bahrul “Buruan cepet geraknya dong, debit
airnya makin nambah nih” sambil menahan batang kayu di bawah saya, tak lama
setelah teriakan tersebut, benar saja tanah yang saya pijaki mendadak longsor,
kaki saya terbawa arus cukup kuat, sutris yang paling dekat dengan posisi saya
langsung menarik badan saya agar tak tercebur semua ke dalam arus deras
tersebut. Dengan sedikit terkejut saya bergegas mencari kembali pijakan yang
kuat agar saya dapat berdiri kembali. Sekelompok orang yang belum menyeberang
akhirnya dapat menyeberang kembali sampai semuanya selamat termasuk team kami, dengan
langkah cepat kami melanjutkan perjalanan menuju parkiran.
Team kami berada di paling belakang sedangkan kelompok orang
yang kami tolong tadi meninggalkan kami, entahlah apa yang ada di benak mereka,
yang jelas dari hati saya sendiri setidaknya ucapan terimakasih sudah lebih
dari cukup bagi team saya dan terutama saya, memang saya tidak mengharapkan,
tetapi minimal menunggu kami dan berjalan bersama itu lebih baik, daripada
berpisah jalan duluan. Memang itu ilmu
yang saya dapatkan tentang bagaimana sifat seseorang ketika berada di alam,
semua akan terlihat sifat asli dari diri masing-masing, egois, masa bodo, tidak
peduli, penakut, pengecut dan malas atau lain sebagainya akan sangat terlihat,
“berbagi waktu dengan alam, kau akan tau siapa dirimu yang sebenarnya”.
Setelah beberapa menit kami berjalan terlihat di depan
beberapa kelompok yang tertinggal dari mereka sedang antri jalan satu-persatu
saya mencoba mendekati mereka, ternyata jalan setapak yang akan kami lalui
longsor setinggi 3 meter, (sebelah kanan terdapat tebing setinggi 5 meter dan
kiri jurang yang langsung masuk ke sungai) sehingga memaksa mereka jalan
bergantian. saya dan teman-teman lainya sedikit waspada melihat dinding tebing
di atas longsoran tersebut masih bergerak, yang akan menimbulkan terjadi
longsoran berikutnya. dengan cepat saya perintah teman-teman untuk berjalan dahulu, dan
memprioritaskan anak kecil serta perempuan terlebih dahulu untuk lewat,
menghindari hal yang tidak diinginkan terjadi saat melewati longsoran tebing
tersebut, setelah itu dilanjutkan oleh laki-laki. Satu demi satu sisa kelompok
mereka dan beberapa teman saya berjalan dengan lancar, dan tiba saatnya giliran
Andre, Sutriz dan saya di paling belakang untuk maju. tiba-tiba tanah dinding tebing
mulai berguguran kembali dengan skala besar, karena posisi saya paling belakang,
saya langsung refleks menarik badan sutriz dan andre ke belakang menghindari
longsoran tersebut, setelah saya lihat andre dan sutriz baik-baik saja saya
langsung berteriak menanyakan bagaimana keadaan mereka yang sudah berada di
depan khawatir ada yang tertimbun atau terhempas longsoran, respon mereka
berkata jika teman-teman yang di depan aman, Alhamdulillah saya merasa sangat
lega mendengarnya. Posisi kami bertiga terpisah oleh longsoran tebing dengan
teman-teman yang lainya, sehingga memaksa kami bertiga yang masih di belakang
mencari jalan lain.
Akhirnya kami bertemu kembali dengan teman-teman yang lain
di desa. Sesampainya di sana mas Iyan memberi kabar jika adik saya Dikky
kakinya terkilir karena tertimbun tanah oleh longsoran tadi, beruntung beberapa
orang yang bersama adik saya dengan sigap menarik Dikky agar tidak tertimbun
oleh longsoran tersebut. Penjelasan beberapa orang yang melihat kejadian
tersebut kaki dikky sudah tertimbun lalu di tarik paksa oleh mereka agar tidak
terdorong oleh tanah masuk ke dalam jurang, saya merasa sangat bersyukur karena
adik saya selamat dari maut tersebut walaupun kakinya terkilir cukup parah.
Kami di tolong oleh warga dan adik saya langsung di carikan tukang urut
terdekat. setelah cukup lama kami singgah di teras salah satu rumah warga
akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju parkiran, bapak yang mengurut kaki
adik saya sangat baik dan tidak pamrih, kebaikan bapak tersebut hanya saya
balas dengan uang sebesar 30rb saja, sejujurnya saya sangat malu sekali dengan
apa yang bapak tersebut berikan pada keluarga saya bahkan untuk orang lain,
ingin rasanya silahturahmi kembali kesana untuk bertemu bapak tersebut.
Dan akhirnya kami lanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta
pada pukul 18:00 sore hari, hujan gerimis masih setia menemani kami sampai di
Jakarta.
*****